Adegan perkelahian tokoh Tua dan tokoh Muda) (by: Dwi Yola Nevia) |
Oleh: Soleha Hasanah N
pasbana.com | Untuk Kabar Sumbar-- Komunitas Seni Kuflet telah berdiri sejak 1997. Komunitas ini bergiat di sastra dan teater. Telah banyak pertunjukan teater yang digarap oleh komunitas Seni Kuflet. Komunitas Kuflet turut memeriahkan Festival Bumi yang diadakan pada 7-10 Nopember 2021.
Pertunjukan ini merupakan produksi ke-35 Komunitas Seni Kuflet. Komunitas Seni Kuflet mementaskan naskah drama Kemerdekaan karya Wisran Hadi dengan Sutradara Sulaiman Juned. Pertunjukan Kemerdekaan bukan kali pertama digarap Sulaiman Juned.
Ditampilakan di Teater Arena Mursal Esten pada 9 November 2021 pukul 14.30 WIB.
Sulaiman Juned telah berkali-kali menggarap naskah kemerdekaan karya Wisran Hadi. Namun tak pernah merasa puas sekalipun dalam tiap garapannya. Disetiap garapannya selalu memiliki perbedaan konsep dan latar budaya. Tahun 2011 Kuflet pernah mempertunjukan Kemerdekaan dengan latar budaya Aceh dengan sett yang bergerak.
Namun konsep kali ini, Sulaiman Juned mencoba memberikan gambaran kemerdekaan budaya Minangkabau.
Apakah budaya Minangkabau telah merdeka, Kemerdekaan seperti apakah sebuah kebudayaan, apakah kemerdekaan Minangkabau sejalan dengan kemerdekaan Republik Indonesia. Berbagai pertanyaan muncul jika sudah membahas tentang ‘Merdeka’ dan ‘Kebudayaan’. Pertunjukan ini mencoba menggambarkan bagaimana kemerdekaan budaya Minangkabau dan bagaimana kemerdekaan Indonesia. Apakah benar merdeka atau masih terkurung.
Kemerdekaan Budaya Minangkabau
Balutan kain merah dan putih melambangkan bahwa kejadian ini ada di Indonesia. Bloking aktor yang membentuk gonjong rumah gadang menunjukan bahwa kejadian ini tepatnya berada di Minangkabau. Musik yang dinyanyikan berjudul Mariam Tomong. Mariam Tomong adalah lagu yang berisikan perjuangan pada masa penjajahan Belanda. Hadirnya penari berada di panggung membawakan tepuk galembong yang telah dikembangkan memperjelas bahwa keadaan ini merupakan kesenian yang ada di Minangkabau dalam penjajahan budaya barat.
Spirit Randai yang dibawakan dalam pertunjukan ini menjadi bukti kongkrit bahwa ini berada di Minangkabau. Spirit Randai, maksudnya Sulaiman Juned tidak menghadirkan Randai yang sesungguhnya di atas panggung. Sutradara memungut ‘roh’ dari kreasi tepuk galembong dan beberapa formasi legaran yang merupakan salah satu unsur Randai. Namun diingatkan sekali lagi bahwa ini bukan Randai. Sutradara hanya mengambil beberapa elemen dan semangat serta kekuatan Randai. Bukan kesenian Randai yang sesungguhnya. Karena jika membahas tentang Randai, tentu pertunjukan ini jauh dari kata kesenian Randai.
Terdapat bunyi musik yang mengiringi pertunjukan tidak serta merta hanya musik tradisi saja. Percampuran musik tradisi dan modern menjadikan bunyi yang sangat indah. Lampu yang digunakan juga menunjukan bahwa budaya tradisi berada dalam penjajahan Barat. Maksudnya, warna jingga mengisi pertarungan ketika antar tokoh bersilek membawa penonton pada zaman dahulu ketika terjadi hiburan silek di perkarangan rumah. Sedangkan permainan warna warni lampu LED ketika aktor sedang berpesta pora membawa suasana penonton ke Diskotik yang dikenalkan oleh bangsa Barat.
Kuflet menghadirkan 4 orang tokoh yang sedatinya bahwa di dalam naskah drama Kemerdekaan hanya terdapat tokoh Orang Tua dan Orang Muda. Sulaiman Juned mengembangkan tokoh dari 2 orang menjadi 4 orang. Kenapa harus 4 dan kenapa perempuan dan laki-laki. Penulis mencoba menilai bahwa dalam keadaan apapun manusia tidak dapat membatasi jumlah penduduk yang terkurung, dan tidak menutup kemungkinan jenis kelamin setiap orang yang terkurung. Angka 4 mewakili dari banyaknya jumlah manusia yang terkurung dan butuh merdeka. Maksud dari manusia terkurung penulis menilai adalah budayawan Minangkabau.
Adat istiadat, kebudayaan dan kesenian merupakan tonggak utama dari sebuah kehidupan dan sumber sejarah, begitu pula Minangkabau. Jika mengilas balik pada awal mula ditemukan manusia, peneliti menemukan sejarah awal peradaban manusia melalui lukisan dinding (kesenian). Ternyata kesenian telah hadir sejak manusia hidup di muka bumi.
Berbagai gelombang arus yang mengantar kesenian untuk hidup dan berkembang. Begitu pula kesenian Minangkabau. Kesenian Minangkabau berjalan sejak Indonesia belum ada dan berkembang sampai hari ini. Namun jika Indonesia telah diakui kemerdekaannya oleh dunia, apakah kebudayaan Minangkabau juga telah diakui kemerdekaannya. Sungguh sempit pengertian jika merdeka hanya stagnan pada arti kata merdeka dari genjatan senjata saja. Merdeka yang ingin di sampaikan Sulaiman Juned jauh lebih luas dari pengertian itu. Dua paham yang saling bertentangan menyebabkan perdebatan dan pertikaian.
Pertunjukan bukan hanya menghadirkan perdebatan antara dua golongan manusia tapi ini merupakan pertikaian antara dua aliran kebudayaan yang tua dan yang muda. Kehidupan adat merupakan kehidupan tertua yang pernah ada, namun kebudayaan yang telah lanjut usia (kebudayaan tradisi asli) ini terus dikembangkan menjadi kebudayaan yang mengikuti zaman sehingga kebudayaan itu menjadi baru dan muda. Maka pertikaian antara kebudayaan muda dan kebudayaan yang telah lanjut usia ini dihadirkan di atas panggung.
Sungguh dangkal jika melihat pertunjukan ini hanya melihat dua manusia yang bertengkar karena bukan hanya pertengkaran manusia yang hadir. Namun terdapat pertengkaran budaya tradisi asli dan budaya tradisi baru (yang telah di kembangkan). Sangat tinggi pesan kebudayaan yang dapat ditangkap.
Kebudayaan yang telah lama memegang teguh dasar-dasar standar sebuah kesenian ingin ikut meninggalkan zona nyamannya dan ingin masuk dalam kesenian Barat. Kesenian muda yang telah dulu ikut berkembang bersama kesenian barat tetapi masih memegang teguh tonggak dasar kesenian tradisi mencoba meyakinkan bahwa kesenian tradisi akan merdeka pada waktunya. Pertunjukan ini melawan segala bentuk kemapanan yang telah lama dan mendorong budaya tradisi berpikir baru.
Situasi kebudayaan Minangkabau sepertinya belum sepenuhnya merdeka. Mungkin saat ini sedang dalam keadaan darurat, terancam atau mungkin terkekang. Kebiasaan lama yang dulu dianggap baik sepertinya sekarang sebaliknya. Oleh karena itu, jangan dipakai lagi. Perlu reinterpretasi, revitalisasi dan reposisi. Hal ini yang coba disampaikan dalam pertunjukan Kemerdekaan.
Dukungan aktor menampilkan randai yang telah dikembangkan menunjukkan bahwa kesenian tradisi tidak mampu berdiri hanya pada dasar-dasar yang sama. Jika itu dilakukan maka kesenian akan ‘mati dibunuh’ oleh kesenian Barat. Konsep inilah yang coba disampaikan Sulaiman Juned. Sutradara menggunakan kostum Randai dengan celana Galembong, handprop yang digunakan yaitu Kerambit. Musik yang digunakan juga mampu membangun suasana pertikaian di Minangkabau.
Ini bukan hanya soal kebebasan manusia, namun ada sesuatu yang lebih danger dari itu. Sebuah keberadaan seni tradisi sedang dipertaruhkan. Kemerdekaan kesenian tradisi harus di berikan. Jangan biarkan kesenian tradisi terus terbelenggu dalam desa dan terkurung dari ‘dunia luar’. Sumatera Barat tidak hanya memiliki keindahan alam, tapi berbagai kesenian dan tradisi perlu di kembangkan dan di sampaikan ke luar Negri. Kesenian tradisi yang memang tradisi juga ingin bebas, bukan hanya kesenian tradisi yang telah diperbaharui.
Indonesia yang berkiblat barat menjadikan kesenian tradisi juga harus mengalami perkembangan dan perombakan. Dasarnya telah “merusak” kesenian tradisi yang telah dijaga oleh nenek moyang. Kemerdekaan seperti inikah yang diinginkan budayawan. Ketakutan jika kesenian tradisi itu akhirnya tenggelam karena terlalu dikreasikan sehingga melenceng jauh bahkan menghilangkan tradisi yang sesungguhnya.
(Adegan perdebatan antara Orang Tua dan Orang Muda) (By: Beri Prima) |
Teror Mental dalam Kemerdekaan
Penulis melihat dari metode yang digunakan, selain teater tradisi, Sulaiman Juned juga menggunakan teror mental milik Grotowski (Jerzy Marian Grotowski). Grotowski merupakan seorang ahli teori teater yang berasal dari Polandia. Grotowski dalam giat teaternya menggunakan metode teror mental.
Tokoh teater Indonesia yang selalu menggunakan teror mental dalam garapannya maupun tulisannya adalah Putu Wijaya. Putu Wijaya bersama Teater Mandiri (Jakarta) menyebarkan metode teror mental di Indonesia. Metode ini yang sepertinya juga di pakai oleh Sulaiman Juned.
Teror mental maksudnya memberikan kejutan tak terduga terus menerus pada penonton. Penonton dibuat terkejut dan merasa ngeri serta penyadaran berpikir ketika menonton pertunjukan. Pertunjukan teater bukan hanya untuk hiburan saja, namun membuat penonton kembali berpikir dalam rasa ketakutan juga merupakan tujuan teater. Sebenarnya hal seperti inilah yang terjadi pada kehidupan kebudayaan yang sesungguhnya. Menurut Nandang Aradea, teror mental merupakan tanggapan atas kepahitan hidup, yang mampu memberikan ruang penyadaran secara kritis untuk melihat kenyataan (Tempo.com).
Perdebatan antara dua jenis kesenian yang sama namun berbeda membuat teror mental pada penonton. Penonton berhasil dibuat terdiam dan terhanyut pada pertunjukan. Spektakel yang dihadirkan mampu membuat penonton tak dapat memalingkan pandangan.
Musik yang mengiringi menambah suasana dan membuat bulu kuduk berdiri. Kita dapat melihat sejak awal pertunjukan, penari masuk dengan berlari kemudian melakukan sekali pukulan galembong dengan sangat keras. Suara galembong yang muncul di antara lantunan musik merupakan hal tak terduga tentu membuat penonton terkejut. Selain itu, bunyi bom yang besar serta runtunan tembakan memotong dialog juga menjadi kejutan pada penonton. Pertarungan antara 4 aktor saling serang membuat penonton merasa ngeri dan berharap pertempuran ini segera berakhir. Muncul keinginan untuk menyelamatkan tokoh yang berada di atas panggung. Menurut penulis, hal ini menunjukan Sulaiman Juned sukses menghadirkan teror mental pada penonton. Akhir cerita sungguh tak terduga, dua tokoh tua dan seluruh penari mati berserakan di atas panggung. Namun dua tokoh muda selamat dari tembakan-tembakan yang terjadi.
Menonton pertunjukan ini seperti naik wahana Halilintar. Perasaan penonton di campur aduk dan di bolak balik hingga tak menentu. Lucu, takut, mencekam dan bahagia lengkap dihadirkan oleh Kuflet. Penutupan pertunjukan yang ambiguitas melontarkan metafora, logika dan masalah tanpa jawaban. Bloking 4 penari pada formasi saling angkat, penulis mengartikan sebagai bentuk bahwa budaya tradisi dapat diombang ambing oleh budaya Barat. Jika tidak memiliki kuda-kuda dan titik tumpu yang kuat, maka budaya tradisi akan terhempas dan terbuang dari sejarah kesenian.
Berbagai kesenian tradisi hilang dan melenyap dalam hiruk pikuk perlombaan kesenian yang berkembang mengikuti Barat. Kombinasi antara seni tradisi dan seni barat lebih populer dibanding dengan kesenian tradisi yang asli.
Jika sebuah kesenian telah hilang dan tenggelam maka itu yang di katakan oleh penutup pertunjukan. “ia telah menemukan kemerdekaannya”. Mungkin kesenian tradisi dikatakan merdeka jika kesenian itu telah tenggelam dan menghilang dari tali sejarah kebudayaan.
Penulis sungguh terkesan setelah tahu bahwa tak semua pemain memiliki basic teater tapi mampu membawa suasana dengan apik. Pertunjukan ini digarap dalam waktu dua bulan dengan berbagai masalah yang dihadapi.
Tempat latihan yang dibilang kurang layak acap kali membuat aktor sakit. Terutama keadaan pandemi yang menghalangi perkumpulan orang banyak menjadi tantangan tersulit yang dihadapi kuflet. Tetapi dengan semua permasalahan itu Sulaiman Juned mampu menghadirkan pertunjukan yang memukau. (*)