pasbana | Untuk Kabar Sumbar - Data dari BPS tahun 2019 menunjukkan Sumbar menjadi provinsi tertinggi dengan kasus pemerkosaan yang terjadi di perdesaan. Ditambah dengan peningkatan kasus kejahatan seksual yang terjadi tiap tahunnya di Sumbar.
Tentunya hal tersebut mencoreng Sumbar yang menampilkan diri sebagai provinsi religius dengan filosofi Adat Basandi Syara, Syara Basandi kitabullah (ABS-SBK).
“Dari situlah kemudian Ranah Institute mengadakan jajak pendapat untuk mengetahui pandangan masyarakat soal kejahatan seksual di Sumbar, dengan melihat sebab kejahatan seksual, respon atas kejahatan seksual, pandangan soal hukuman atas pelaku kejahatan seksual, dan tindakan yang akan diambil ketika mengetahui terjadinya kejahatan seksual di lingkungannya. Ranah Institute juga mencoba untuk melihat pelaku kejahatan seksual dengan mengambil sampel dari pemberitaan online, " ungkap Fajri Syukri, M.I.P peneliti senior di Ranah Institute.
Jajak pendapat ini dilakukan secara online yang dilakukan pada 18-25 Januari 2022. Responden tersebar di seluruh kabupaten/kota di Sumatera Barat kecuali Mentawai dengan presentase responden terbesar terdapat di Padang. Kuisoner disebarkan secara daring melalui kanal-kanal media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp, dan kanal lainnya, dengan target responden sebanyak-banyaknya.
Kuiosener diisi secara sekurela oleh responden. Adapun jenis kelamin presentase yang mengisi kuisoner adalah laki-laki sebanyak 47,6 persen dan perempuan 52,4 persen.
Berkaitan dengan pandangan responden soal penyebab terjadinya kejahatan seksual di Sumbar, lebih dari setengah responden setuju bahwa kejahatan seksual terjadi karena korban berduaan di suasana yang sepi (95,5%) dan lingkungan pergaulan yang salah (93.8%).
Sesuai dengan penelusuran berita kejahatan seksual di Sumatera Barat yang di himpun tim Ranah Institute, dua penyebab utama di atas terbukti menjadi faktor yang di temukan pada sebagian besar kasus kejahatan seksual.
Pada kasus yang dilaporkan dan diekspos ke media di tahun 2021 terdapat kejadian kejahatan seksual saat malam minggu bersama pacar di lokasi camping, saat pulang dari karaoke bersama teman SMA, saat berpacaran di rumah pelaku, berpacaran hingga dini hari, menginap di rumah pacar dan berpergian ke luar kota bersama pacar.
Melihat dari sisi pelakunya, mayoritas responden setuju bahwa pelaku terdorong untuk melakukan pelecehan seksual karena faktor kehampaan spiritual (90,6%) dan tidak adanya kontrol keluarga (93,1%).
Selain itu, responden setuju bahwa seringnya menonton video porno menjadi pendorong utama seseorang melakukan kejahatan seksual (96%). 84,7% responden setuju bahwa cara berpakaian korban juga menjadi faktor kejahatan seksual terjadi.
Lebih dari setengah responden juga setuju bahwa pelecehan secara verbal di media sosial terjadi kerena korban memajang foto dengan pakaian ketat (93,8%) dan video goyangan yang tidak pantas (96%).
Ranah Institute juga mencoba untuk melihat apa relasi pelaku dengan korban dari kejahatan seksual (perkosaan dan pencabulan) itu sendiri untuk wilayah Sumatera Barat. Sampel diambil dari 30 pelaku yang diberitakan melalui media online di Sumbar untuk kasus pada tahun 2021.
Dari olahan data tersebut diperoleh ragam latar belakang pelaku kejahatan seksual mulai dari pacar/teman (40%), kerabat dekat/keluarga (30%), orang tak dikenal (13.3%), pengajar (10%), tetangga (6.7%).
Dari data terebut tampak bahwa, mayoritas pelaku kejahatan seksual adalah orang-orang yang dikenal oleh korban, baik itu keluarganya, teman atau pacar, tetangga serta pengajar mereka dengan total 86,7%. Adapun orang tak dikenal hanya 13,3%. Artinya, perlu Kerjasama semua pihak untuk mencegah kasus kekerasan seksual ini terjadi, mulai dari keluarga, kepedulian tetangga, peran ulama dan penegak hukum.
Ditunggu Inovasi dan Gebrakan MUI dan LKAAM
Dalam jejak pendapat ini, Ranah Institute juga menanyakan kemanakah masalah kejahatan seksual ini seharusnya dilaporkan. Lebih dari setengah responden (58,3%) akan melaporkan kasus kejahatan seksual yang mereka ketahui ke polisi.
Di samping itu ada juga yang melaporkan ke pihak berwenang lainnya (26.1%), pemerintah seperti RT/RW/Jorong/Nagari (8.4%), KPAI (3.3%), pemuka masyarakat/Niniak Mamak (1.3%), ulama (1.3%), komnas HAM (1%), dan pejabat kampus (0.3%).
“Dari sudut pandang pendekatan hukum, hal ini memanglah wajar bila masyarakat lebih memilih melapor kepada Polisi bila mengetahui ada kekerasan seksual daripada ke pihak lain. Namun satu sisi, perlu didalami peran ninik mamak dan ulama dalam kondisi social sedemikian karena responden menjadikan ninik mamak dan ulama pada pilihan tiga terakhir. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa masyarakat perlu melihat peran nyata kedua unsur tokoh masyarakat ini secara praktis, ” sambung Adnan Arafan. (LDR)