Notification

×

Iklan

Iklan

Makna Tradisi Basapa, Sebagai Ritual Penghormatan kepada Ulama di Bumi Minangkabau

25 November 2022 | 10:15 WIB Last Updated 2022-11-25T03:21:00Z


pasbana - Minangkabau memiliki banyak keunikan dan keistimewaan dari tradisi yang berkembang ditengah masyarakatnya. Jika bicara seputar Minangkabau, biasanya yang paling melekat diingatan adalah kulinernya, salah satunya rendang. Dan itu telah mendunia.  

Namun ada hal lain yang perlu kita ketahui yaitu keunikan dan kebudayaan Minangkabau. Ada eni beladiri pencak silat. Silek Minangkabau yang juga mendunia salah satunya  Silat Harimau. 

Dari Seni tari ada Tari Piring, yang memiliki gerakan yang mengandung makna filosofis yang cukup mendalam untuk dikaji.  

Minangkabau juga memiliki budaya dari segi arsitektur rumah yang khas yang disebut rumah gonjong, didalam Rumah Bagonjong terkandung materi seperti tonggak tuo, janjang, ukiran limpapeh, dan beberapa ornamen yang memiliki makna kehidupan.  

Selain budaya dan tradisi diatas, ada juga tradisi masyarakat di wilayah Pariaman yang sangat populer di Sumatra bahkan hingga Negeri Sembilan (Malaysia) yakni Tradisi Basapa. Tradisi ini biasa digelar di Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman. 

Kegiatan tradisi ritual basapa, oleh masyarakat sekitar dilaksanakan untuk meminta keberkahan kepada Syaikh Burhanuddin yang telah berjasa dalam menyebarkan Islam di Minangkabau.  

Bahkan, diketahui pula, masyarakat ada yang meminta dan memohon kepada Syaikh Burhanuddin dengan berbagai hajat dan permintaan perihal duniawi dan perihal ukhrawi.  

Tradisi Basapa dimulai sekitar tahun 1316 H/1897 M. Penyelenggaraan ritual Basapa pertama kali dilakukan oleh para jamaah pengikut Syaikh Burhanuddin.  

Saat itu para peziarah pergi ke makam Ulakan tidak ada penentuan jadwal kunjung bagi mereka. 

Kemudian dua ulama pewaris Syekh Burhanuddin yakni Syekh Kepala Koto Pauh Kamba dan Syekh Tuanku Kataping mengambil inisiatif bermusyawarah dengan sejumlah ulama dan jamaah Tarekat Syattariyah untuk menentukan waktu ziarah bersama ke makam Syekh Burhanuddin.  

Dari musyawarah tersebut, disepakati dan diputuskan bahwa ziarah dilaksanakan secara rutin pada setiap hari Rabu setelah tanggal 10 bulan Safar. 

Setelah kesepakatan tentang pelaksanaan, Basapa hanya ditangani oleh alim ulama, pemuka adat, cerdik pandai dan masyarakat, mereka juga mengangkat Qadhi bertugas mengurusi pelaksanaan Basapa.  

Seiring berjalannya waktu, ritual Basapa difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman, dengan harapan upacara Basapa dapat dijadikan sebagai salah satu destinasi kunjungan pariwisata dan memberikan dampak positif kepada daerah.  

Namun demikian, peran pemuka adat ninik mamak kenagarian Ulakan tetap memiliki andil besar dalam penyelenggaraannya.  

Ninik mamak memegang hak ulayat dari wilayah makam Syekh Burhanuddin kemudian mengorganisir pelaksanaan dari kegiatan Basafa, dengan membentuk kepanitiaan-kepanitiaan dalam kegiatan religius ini. 

Walaupun Syaikh Burhanuddin Ulakan adalah tokoh ulama dari Tarekat Syattariyah, tetapi dalam ritual Basapa, para peziarah kebanyakan tidak terdiri dari pengikut Tarekat Syattariyah, namun diikuti juga oleh masyarakat umum dari berbagai daerah.  

Pelaksanaan ritual Basapa ini dilakukan sebanyak dua kali, yakni sapa gadang dan sapa ketek 

Sapa Gadang adalah ritual yang pertama dilakukan setelah tanggal 10 bulan Safar pada hari Rabu yang diikuti oleh para peziarah dalam jumlah cukup besar dari luar daerah Sumatera Barat seperti Aceh, Riau, Jambi dan lainnya hingga Malaysia.  

Sedangkan Sapa Ketek adalah pelaksanaan ziarah sepekan setelah sapa gadang dilaksanakan. Namun, pada sesi sapa ketek ini biasanya diikuti oleh peziarah masyarakat daerah Padang Pariaman saja. 

Meski disebut Sapa Ketek (Sapa Kecil), namun para peziarah pada momen ini juga tetap ramai. Para peziarah ini datang dari berbagai wilayah provinsi lain yang berada di Pulau Sumatera. Mereka juga berasal dari berbagai latar belakang, seperti orang-orang alim, para pejabat publik, aparatur negara dan golongan lainnya. 

Setiap tahunnya sebelum pandemi menyerang dunia global dan wilayah Minangkabau (Sumatra Barat) khususnya, antusiasme luar biasa dari masyarakat yang hadir ke dalam acara tersebut pada umumnya beralasan karena menghormati beliau yang sudah berjasa dalam menyebarkan Islam di Minangkabau.  

Faktor lain yang mendorong para peziarah berkunjung adalah keyakinan adanya beberapa hal keramat yang melekat dari Syekh Burhanuddin. Sehingga hal ini menjadi daya tarik bagi peziarah untuk hadir ke dalam proses ritual yang dilaksanakan setiap tahunnya di bulan Safar tersebut. 

Kemudian lagi, hal unik bisa didapatkan dari tradisi ini, kalau diberikan penafsiran dari kata Basapa (bahasa Minangkabau) atau ‘Bersafar’ secara tidak langsung diartikan melakukan suatu kegiatan atau aktivitas di bulan Safar. 

Umumnya, orang menanggapi kegiatan atau tradisi ritual yang dilakukan setiap bulan Safar merupakan aktivitas atau cara untuk mengusir dan menghindari atau lebih populernya ritual tolak bala.  

Akan tetapi, kenyataannya kegiatan ritual Basapa yang ada di Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman ialah dalam rangka untuk mengingat wafatnya Syekh Burhanuddin yang bertepatan pada bulan Safar tersebut, sebagai bentuk penghormatan kepada ulama dan tokoh yang dihormati. (*) 

IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update