Agam, pasbana - Tetap produktif diusia senja, adalah hal positif yang dilakukan Minar (70) warga Nagari Kampung Pinang, Lubuk Basung. Ia hingga kini masih setia menekuni usaha kerupuk berbahan singkong (ubi kayu).
Meski tidak sejaya tahun 80-an lalu, Minar optimis usaha yang diwariskan orang tuanya itu akan terus bertahan.
Pagi itu seperti biasa, Minar bersama sang anak, Lita (42) tampak sibuk mencetak kerupuk ubi.
Berbekal potongan pipa sepanjang 50 meter, landasan pemipih, cetakan berdiameter 15 sentimeter, Minar terlihat cekatan mencentak kerupuk.
Dalam satu hari, Minar mampu memproduksi 1200 lempeng kerupuk, dengan menghabiskan 20 kilogram ubi kayu, aktivitas ini dilakukannya hampir saban hari.
“Jam 04.00 pagi sudah bangun, langsung merebus ubi, kemudian mencetak yang seperti ini bisa sampai sore,” ujarnya.
Dikatakan, usaha pembuatan kerupuk ubi miliknya masih dilakukan secara tradisional. Untuk menghaluskan ubi, dirinya menggunakan alat penggiling yang dioperasikan secara manual.
Minar tidak tahu persis kapan ia memulai usaha tersebut. Seingatnya, ketika masih remaja, usaha yang sama sudah dilakoni orang tuanya. Kini, usaha tersebut sudah diwariskan kepada sang anak.
Diceritakan Minar, usaha kerupuk ubinya sempat jaya pada tahun 80-an. Bahkan, kawasan tempatnya tinggal dikenal sebagai sentra kerupuk ubi terbesar masa itu.
“Sekarang bisa dihitung jari, hanya berapa rumah saja yang masih memproduksi kerupuk ini,” ungkapnya.
Menurutnya, berkurangnya produksi kerupuk ubi di daerah itu, karena prospeknya yang belum menjanjikan.
Dikatakan, dari 1200 lempeng kerupuk yang diproduksi, ia hanya mendapat omset sekitar Rp108 ribu. “Rinciannya, seikat kerupuk berisi 100 lempeng, satu ikatnya dijual Rp9.000, bisa dikalikan berapa uangnya, belum lagi dipotong harga ubi Rp2000 sekilo,” sebut Minar.
Saat ini harga bahan baku ubi terbilang murah. Namun, harga bahan baku tidak menentukan harga jual kerupuk ubinya. Bahkan, disaat harga bahan baku naik, Minar tidak lantas menaikkan harga jual kerupuk.
Alasan lainnya, ungkap Minar, faktor cuaca menjadi penentu kualitas kerupuk yang dihasilkan. Tak jarang dirinya merugi ketika datang musim penghujan.
“Jika sehari tidak terkena sinar matahari, maka kerupuk ini akan menghitam karena jamur, kalau sudah begitu kerupuk tidak bisa dijual,” ucapnya.
Selain itu, keterbatasan alat produksi juga menyebabkan produktivitas kerupuk ubinya menjadi lesu. Dikatakan, jika ada alat yang memadai, jumlah produksi akan bisa ditingkatkan.
“Kalau ada mesin penghalus ubi dan alat pengering, maka waktu tidak akan terlalu banyak terbuang dan kita tinggal fokus mencetaknya saja,” jelasnya lagi.
Untuk terus melestarikan usaha turun-temurun itu, Minar berharap ada sentuhan berupa bantuan dan pembinaan dari pihak terkait. Dirinya berharap kerupuk ubi Balai Salasa kembali ke masa kejayaan seperti beberapa dekade lalu.
“Kami berharap ada bantuan untuk pengembangan, agar usaha ini bisa terus bertahan dan berkembang,” ujarnya berharap. (Rel/bd)