Notification

×

Iklan

Iklan

Sitti Nurbaya, dari Fiksi ke Wisata Sastra

06 Februari 2023 | 11:15 WIB Last Updated 2023-02-06T04:15:33Z
Novel Sitti Nurbaya (Sumber: MJ Brigaseli) 


Oleh: Ferdinal
Civitas Academica Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas


 

Pasbana -- Sebagai sebuah bangsa yang kaya dengan sumber daya alam, potensi ekonomi dan warisan budaya, Indonesia perlu mengelola kekayaan dan potensi dan mengolahnya secara produktif dalam  mewujudkan kesejahteraan bangsa ini. 

Karya-karya sastra besar Indonesia, sebagai salah satu bentuk kekayaan budaya negeri ini, perlu didokumentasikan, didesiminasikan kepada masyarakat, serta dikembangkan menjadi wisata sastra secara lebih luas.

Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, salah satu karya klasik, sudah lama menghias pikiran masyarakat Indonesia. Sejak terbit tahun 1922, karya ini menjadi salah satu bacaan utama dalam kesusasteraan Indonesia. 

Novel yang berkisah tentang sepasang remaja, Sitti Nurbaya dan Samsulbahri ini berbalut isu kawin paksa di Minangkabau. Cinta pasangan kekasih ini harus kandas karena kelicikan Datuk Meringgih yang menginginkan Sitti Nurbaya menjadi istrinya. 

Marah Rusli, sang penulis yang juga seorang dokter hewan pada masanya, menggunakan Padang dan Jakarta sebagai latar cerita Sitti Nurbaya. Mengusung tema sosial, novel ini berhasil menghipnotis pembaca dengan berbagai latar belakang sosial ekonomi.

Terkait dengan latar novel ini, yang sering dibahas adalah kota Padang, khususnya Gunung Padang, dan Pelabuhan Teluk Bayur yang merupakan latar yang dilalui tokoh Sitti Nurbaya dan Samsulbahri. Gunung Padang ditulis sebagai tempat di mana pasangan kekasih ini mengikrarkan cinta mereka serta di mana mereka dikuburkan. 



Taman dan Makam Sitti Nurbaya (Sumber: Wisatakita.com / Detik Travel -detik.com )



Sekarang, novel Sitti Nurbaya adalah salah satu referensi yang layak dibaca dan dirujuk. Disamping itu, pecinta sastra juga bisa merujuk versi film nya. Efek Sitti Nurbaya tidak lagi menguat seperti beberapa puluh tahun lalu di mana tontonan belum marak bagi masyarakat sehingga keberadaan novel ini sangat kuat dalam masyarakat Minang dan Indonesia waktu itu. 

Namun, sebelum versi layar lebar ini muncul, sebagian anggota masyarakat menganggap cerita ini sebagai sebuah legenda. “Sebenarnya ini cuma legenda, bukan kejadian sebenarnya,” kata salah seorang ketua RT dekat destinasi.

Kekuatan ini berhasil meningkatkan animo masyarakat untuk datang ke bukit ini. Pada hari Sabtu atau Minggu, banyak orang manusia nongkrong, berjalan, jogging, berlari, bersepeda, dan mengemudikan kendaraan di depan atau sekitar bukit yang disebut Gunung Padang ini. 

“Kalau Sabtu itu bisa mencapai lima ratus, kalau Minggu bisa mencapai seribu. Kalau hari biasanya bisa lah seratus orang,” jelas sang ketua RT.

Cerita ini memberi inspirasi kepada banyak pihak termasuk pemerintah daerah kota Padang yang mengabadikannya dalam tempat wisata seperti makam Sitti Nurbaya, Taman Sitti Nurbaya, dan Jembatan Sitti Nurbaya.

“Sejauh ini untuk Gunung Padang yang dikenal oleh masyarakat sebagai lokasi makam Sitti Nurbaya. Cerita tersebut sudah turun temurun dan sudah menjadi legenda. Konon kabarnya makam yang ada di gunung padang adalah makam nya Sitti Nurbaya,” ungkap salah seorang anggota masyarakat sekitar destinasi.

Sejauh ini efek cerita Sitti Nurbaya sudah dirasakan keberadaannya secara fisik melalui destinasi yang dihasilkannya. Sebagai masyarakat, kita belum melihat perubahan yang berarti dalam fungsi sastra destinasi ini bagi pembangunan. Untuk bisa  berfungsi bagi pembangunan bangsa, cerita, legenda dan wisata yang dihasilkannya perlu dikembangkan oleh pemangku kepentingan. 

Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama. 

Pertama, keberadaan cerita yang sudah melegenda ini perlu dipertahankan. Peran pemerintah dan pencinta sastra seperti peneliti, kritikus dan pengajar sastra dalam pelestarian ini sangat diharapkan.  

Karya ini perlu terus dibaca, dibahas, diteliti dan diperkenalkan kepada masyarakat dari beragam sudut pandang  sehingga makna dan nilai yang dikandungnya bisa diungkap baik itu secara struktural, semantik, sosial dan budaya.

Hal ini dapat membuka mata pembaca dan masyarakat bahwa cerita ini bukan hanya cerita biasa tapi sebuah cerita yang bisa memberi kontribusi besar dalam pembangunan bangsa ini.

Ada baiknya kita belajar dari salah satu bangsa maju seperti Inggris  yang mengelola kekayaan budaya mereka dengan sangat baik. Tempat-tempat terkait dengan kesusasteraan Inggris, misalnya, secara luas dipergunakan untuk mempromosikan sastra seperti ‘Catherine Cookson’s County’ di Northumberland, ‘Shakespeare’s Stratford’, ‘the Brontes's Yorkshire’, ‘Hardy’s Wessex’, ‘Wordsworth’s Lake District’, dan ‘Dickens’ London.’ 

Bagi masyarakat Inggris, wisata sastra tidak hanya  memahami dan menikmati karya sastra akan tetapi juga menikmati hal-hal yang berhubungan dengan tempat dalam karya sastra.

Apa itu wisata sastra? Sesuai dengan pandangan Rojek dkk, wisata sastra berkenaan dengan transformasi karya sastra kepada hal-hal yang berhubungan dengan representasi dan produksi lanjutan dari karya-karya tersebut dan berkaitan dengan penulisnya. 

Representasi berupa hal-hal fisik yang mewakili penulis reproduksi merupakan upaya untuk menghasilkan sesuatu dari karya yang terbit atau berkenaan dengannya. Representasi dan reproduksi dari adalah warisan yang luar biasa bagi pembaca apalagi kalau hasilnya dibuat lebih menarik.

Pengunjung akan tertarik untuk menikmati destinasi yang luar biasa dan enggan pergi ke tempat-tempat biasa. Keluarbiasaan tempat tertentu bisa terjadi secara alami atau karena faktor sosial dan kebudayaan. 

Destinasi semacam Air Terjun Niagara, Taj Mahal, Angkor Wat, Candi Borobudur dan Verona Wall merupakan ragam dari destinasi luar biasa yang terbentuk secara alami dan faktor lain. Pakar-pakar wisata sastra seperti Butler, Busby dan Klug mengatakan bahwa ada beberapa jenis wisata sastra. Diantaranya adalah tempat lahir penulis, kuburan, rumah, latar yang digunakan penulis dalam karya, cerita perjalanan, dan festival sastra. 

Kedua, kisah kawin paksa dalam Sitti Nurbaya ini melahirkan sejumlah destinasi wisata seperti makam, taman dan jembatan. Destinasi ini perlu diperhatikan, dijaga, dikembangkan dan dilestarikan oleh semua pihak, khususnya pemerintah. 

Dalam konteks destinasi wisata di Indonesia, pemerintah adalah salah satu pemangku kepentingan utama. Kebanyakan destinasi wisata lahir, berkembang dan bertahan karena peran atau atas dukungan pemerintah.

Pemerintah kota Padang sudah mengeluarkan dana yang relatif besar dalam melahirkan dan mengembangkan destinasi-destinasi ini. Upaya ini tentunya perlu dipertahankan oleh pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan langsung dengan destinasi ini.  Pengelola, penduduk dan para pengais rezeki di sekitar destinasi ini perlu menjaga kelangsungan nya.

Bila kita cermati keberadaan destinasi-destinasi ini sebagai pengunjung, kita bisa memahami bahwa keberadaan ketiganya berjalan seperti apa adanya, terutama karena potensi wisata religi dan alam. Makam Sitti Nurbaya di Gunung Padang dipandang sebagai destinasi religi di mana sejumlah orang datang berkunjung pada waktu tertentu untuk memenuhi panggilan spiritual. 

Taman Sitti Nurbaya menarik perhatian sejumlah anggota masyarakat yang menaiki bukit Gunung Padang untuk berolahraga, bersantai dan menikmati pemandangan kota Padang dan sekitarnya dari atas bukit ini.

Sementara itu, Jembatan Sitti Nurbaya, dijadikan tempat santai dan menikmati sore, senja dan malam hari sambil menikmati pemandangan sekitar sambil menikmati kuliner di sepanjang jembatan ini.


Jembatan Sitti Nurbaya di Malam Hari (Sumber: MerahPutih)



Demi kelangsungan destinasi ini, pemangku kepentingan perlu mencari pola terbaik dalam pengembangannya. Ketiganya lahir karena adanya kisah Sitti Nurbaya. Pengembangan destinasi ini salah satunya dalam rangka mengenang dan mendesiminasikan kisah ini kepada publik. Wisata sastra bisa menjadi alternatif utama dalam mengembangkan potensi wisata daerah ini. Oleh karena itu, bila model ini dipilih, pengembangan destinasi ini tentunya berbalut sastra. 

Hilirisasi produk dan layanan perlu dilahirkan dari kisah ini, baik itu penggalan cerita, tempat, kuliner, akomodasi dan jasa, termasuk penyediaan informasi yang memadai tentang kisah ini serta kaitannya dengan destinasi yang dihasilkan di lokasi di mana pengunjung bisa memperolehnya. Jalinan antara kisah, destinasi dan geliat ekonomi di sekitar destinasi ini perlu digerakkan sehingga keberlanjutan wisata ini bisa diciptakan. 

Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemangku kepentingan pariwisata daerah ini untuk melahirkan wisata sastra Sitti Nurbaya berkelanjutan. Awal sekali, mereka perlu melahirkan produk-produk wisata sastra baik kisah, sejarah atau tempat dengan daya tarik berbeda dari tempat lain. 

Kedua, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk menyelamatkan dan mempertahankan situs budaya yang ada sebagaimana masyarakat dan pemerintah di berbagai penjuru dunia sudah lakukan.

Selanjutnya, pelaku wisata menawarkan beragam atraksi wisata yang membuat pengunjung  datang atau berkunjung kembali dan mempromosikan secara lebih luas dan berkelanjutan. 

Terakhir, pengelola destinasi wisata ini perlu menghasilkan produk-produk ikonik yang menjadi ciri dari destinasi yang mereka kelola. Ikon-ikon ini diintegrasikan dengan wisata yang ada baik, alam, seni atau budaya.

Keberlangsungan destinasi wisata tidak bisa lepas dari peran serta publik. Pengelola destinasi wisata sastra Sitti Nurbaya perlu melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan destinasi ini melalui berbagai hal.

Pertama, masyarakat perlu diberi keterampilan dalam mengelola produk wisata dan memberikan layanan usaha yang melibatkan mereka. Berikut, mereka perlu mengembangkan wisata berbasis masyarakat.  

Kemudian, pengelola meningkatkan pengertian, dukungan moril dan keikutsertaan publik dalam melahirkan dan meningkatkan lingkungan wisata yang kondusif. Terakhir, pengelola wisata Sitti Nurbaya perlu menerapkan petunjuk dasar dalam pengelolaan wisata, berbasis kearifan lokal, konservasi, proteksi, dan peningkatan kualitas sumber daya. Atraksi wisata yang mengakar pada khazanah budaya lokal, dan pelayanan wisata berbasis budaya dan lingkungan lokal juga perlu dikembangkan.

Padang, 4 Januari 2023

IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update