Ilustrasi sapi yang memakan sampah plastik, (Courtesy of The News Minute) |
Ditulis oleh : Denny Adriyan
Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Andalas
Pasbana - Pak Sawir adalah seorang pria kelahiran 1967 yang berprofesi sebagai pedagang daging sapi dan pengusaha penggemukan sapi, usaha penggemukan tersebut singkatnya adalah dengan membeli sapi sapi yang kurus dengan harga murah, dan menggemukkan sapi tersebut untuk dapat dijual dengan nilai ekonomis yang tinggi, usaha ini sudah berjalan sejak tahun 2013 berlokasi di Batang Sani, Mudiak balai, Kecamatan Patamuan, Kab. Padang Pariaman.
Kasus yang dialami oleh bapak sawir pada tahun 2021 lalu menarik minat saya untuk membahasnya pada artikel ini, yaitu penemuan sampah plastic pada lambung ternak sapinya.
Kejadian ini bermula pada beberapa bulan sebelumnya bapak sawir membeli 3 ekor ternak daerah pesisir selatan, dengan harga miring, yaitu dengan harga 4-6 jutaan per ekornya untuk sapi yang sudah berumur 1 tahun lebih, tanpa pikir panjang, Pak sawir segera melakukan transaksi dan mengangkut sapi tersebut ke peternakannya, dan selama beberapa bulan pak sawir berupaya untuk menggemukkan sapi tersebut dengan cara pemberian konsentrat, pemberian vitamin dan berbagai cara untuk meningkatkan bobot sapi tersebut, tetapi yang terjadi sapi tersebut hanya makan secukupnya.
Dan setelah 2 bulan salah satu sapinya tumbang karena terus kehilangan berat badan dan mati, tidak lama setelah itu kedua sapinya menunjukkan gejala yang sama pada sapi yang mati sebelumnya, yaitu lemas dan tidak mau makan.
“ Lah den cubo agiah makan, lah basuntik, lah basuok an ubek, vitamin bagai ndak juo nampaknyo cegak do, tu lah nampak tando tando ndak ka lamo wak bae se dabiah lai "
" Sudah saya coba beri makan, sudah disuntik, sudah dicekoki vitamin dan obat tidak juga menunjukkan hasil, malahan hanya tanda tanda dia tak akan bertahan lama lalu saya sembelih saja ” kata Pak Sawir.
Kesal pak Sawir tak mengetahui penyebab sapi nya terus melemah dan mati, ia pun mencoba mencari tahu dengan membedah perut sapi tersebut, lalu ia menemukan potongan potongan kantong plastik di dalam rumen dan retikulumnya.
Dicurigai bahwa sebelum Pak Sawir membeli sapi sapi tersebut, sapi sapi itu memakan sampah yang bertebaran di lahan rumput di tepi pantai, karena sampah plastik yang dikonsumsi sapi secara terus menerus akan mengakibatkan penumpukan dan penggumpalan di dalam rumen.
Sesuai pendapat menurut Ismail et al. “Sampah plastik dalam rumen sapi akan mengganggu system pencernaan, sehingga menghambat pertumbuhan ternak sapi.“. Akibat dari kejadian ini Pak Sawir merugi sekitar Rp.15 juta lebih belum termasuk biaya pemeliharaan, upah pekerja untuk menyabit, obat obatan, dan jasa mentari (ahli ternak lokal) dapat ditotalkan melebihi 20 juta rupiah.
Menanggapi musibah yang ia alami saat itu “iyo nan nan namonyo musibah yo baa lai, nan awak takicuah lo, tapaso bakarilaan se lai nyo – ya yang namanya musibah ya bagaimana lagi, saya ketipu juga, terpaksa di relakan saja” pungkasnya.
Pada saat ini Pak Sawir tentu saja sudah belajar dari kejadian pahit yang ia alami, sekarang ia hanya membeli ternak ternak yang jelas asal usulnya, sekarang peternakan pak sawir sudah mengalami penambahan jumlah, dapat diidentifikasi pak sawir memelihara 3 ekor sapi simental, 1 ekor sapi bali jantan, dan 2 ekor kerbau. dan terus menjalani profesinya sebagai pedagang daging sapi di pasar Tandikat tidak jauh dari peternakannya di Batang Sani.
Hal ini sudah lumrah terjadi, seperti pada berita KrJogja.com, kemungkinan maraknya sapi-sapi yang digembalakan di areal Tempat Pembuangan Akhir (TPA) seperti Jatibarang dijual di pasaran untuk hewan kurban.
Sementara Suwarto, pedagang hewan kurban di kawasan Simongan Semarang menuturkan bahwa untuk mengidentifikasi sapi atau kambing yang digembalakan di TPA Sampah cukup mudah dengan mengenali kotorannya.
"Apabila kita menemukan kotoran sapi yang mengandung plastik maka sudah dipastikan sapi tersebut bias jadi telah mengkonsumsi sampah plastik. Selain itu kotoran sapi pemakan sampah aromanya mirip bau busuk sampah. Bahkan tidak jarang terdapat cacing atau ulat. Kondisi ini sudah sangat jelas dan tidak perlu dipilih sebagai hewan kurban”, ungkap Suwarto.
Kasus ini menyadarkan kita pada beberapa hal yaitu pencemaran lingkungan yang nyata dampaknya seperti salahsatunya yang dialami oleh pak Sawirman. Dan pemilihan lahan pasture yang tepat untuk sapi berkembang sehingga tidak menganiaya sapi dengan membiarkannya memakan sampah yang berada disekitarnya, terlebih lagi sapi sapi tersebut berasal dari daerah pantai, sehingga tak cukup merusak lingkungan di daratan saja, yang mana ekosistem pantai tersebut pasti tercemar karena sampah sampah yang berasal dari manusia yang tak bertanggung jawab.
Hal ini seharusnya menjadi penampar bagi sesama kita yang suka lupa atau melupakan diri terhadap sampah yang kita buang sembarangan, pikirkan setiap sampah yang dibuang dengan kejadian berantai yang mungkin akan berakhir pada kerugian orang lain, makhluk hidup lainnya maupun diri sendiri.
Selain itu pelajaran yang dapat kita ambil, yaitu pentingnya memiliki ilmu yang mumpuni dalam mengamati kondisi sapi, mengetahui keadaan sapi-sapi tersebut, tidak hanya dari penampilan sapi itu saja, tetapi lingkungan sapi itu juga, dan kurangnya kesadaran untuk mencari informasi tentang sapi-sapi harga miring tersebut kepada warga setempat, dan tidak mudah tergiur dengan harga miring. (*)