Sawahlunto, pasbana - Galanggang Arang bagian 6 diadakan di Kota Sawahlunto pada tanggal 1-3 Desember 2023. Selama 3 hari berturut-turut gelaran ini sarat narasi perempuan yang berhubungan dengan Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) lewat penampilan puisi, drama tari, musik perkusi tradisi, serta atraksi budaya lainnya.
Pada pembukaan Galanggang Arang #6, Noni Sukmawati, seniman teater Sumatera Barat membacakan puisi karya Hartoyo Andangdjaja berjudul "Perempuan-Perempuan Perkasa". Sajaknya bercerita tentang kisah perjuangan perempuan petani yang sedang naik di kereta.
Puisi ini bagian dari pertunjukan drama tari "Piring Bernyanyi: Migrasi Perempuan dari Dapur ke Ruang Tamu" yang merupakan kolaborasi grup kesenian Talago Buni dan beberapa seniman.
Perempuan yang bekerja di dapur serta ruang publik adalah praktik yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Pertunjukan ini merupakan apresiasi atas peran penting perempuan dalam kehidupan sosial.
"Pada masyarakat agraris, perempuan menempati posisi yang bermakna. Sebuah kenyataan yang kita temukan pada masa lalu dan mereka menjadi penanda dari dinamika budaya," ujar Edy Utama, koordinator kurator Galanggang Arang. (3/12)
Menurut Edy, memunculkan suara perempuan pada perhelatan ini adalah bentuk refleksi di kehidupan nyata. Migrasi perempuan ke ruang tamu berarti perempuan punya peran penting tidak hanya di dapur, tetapi juga di ruang publik. Kekuatan perempuan terletak di sana.
Uniknya di akhir pertunjukan, para penari memberi piring dan sumpit ke penonton untuk bermain perkusi bersama. Piring dipukul bersama-sama dengan sumpit sesuai ketukan yang sudah ditentukan. Seakan-akan mengajak semua khalayak untuk mengapresiasi keberadaan para perempuan yang berjuang bagi kehidupan.
"Di Minangkabau sebagai contoh, praktek kebudayaan itu muncul justru didominasi kaum perempuan baik secara fisik maupun moral. Yang menjalankan narasi itu sesungguhnya adalah kaum perempuan," papar Edy.
Selain itu ada pertunjukan Talempong Batuang oleh dua perempuan dari Grup Talempong Batuang Sarumpun. Salah satu pemainnya bernama Mitriani, anak dari Pak Umar, generasi kedua yang memainkan Talempong Batuang dari Silungkang Oso. Ia mengaku bermain alat musik pukul ini sejak tahun 2009.
"Dulu dimainkan oleh nenek dan diwariskan ke ayah, kemudian ke saya. Talempong batuang dahulu sering dimainkan oleh perempuan saat beristirahat setelah bekerja di sawah. Hari ini laki-laki juga memainkannya tapi tidak banyak," ujarnya. (1/12)
Alat musik yang mengeluarkan suara dari sembilu yang dipukul ke badan bambu ini diperkirakan ada sejak abad ke-19. Pada tahun 2019, Talempong Batuang diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbudristek.
Lalu ada penampilan musik multikultural Srikandi dari Kampung Surian-Sawahlunto. Grup ini berdiri tahun 2017 dan beranggotakan 24 perempuan dari berbagai etnik dan latar belakang. Mereka menampilkan pertunjukan gamelan dengan mendendangkan lagu-lagu tradisi Jawa, Minang, Sunda, Batak serta tembang-tembang nasionalis.
"Kami berniat melestarikan gamelan. Jika dulu musik tradisi ini hanya dimainkan laki-laki, maka sekarang juga dimainkan oleh perempuan," ujar Rismiati (64), ketua dari grup Srikandi.
Pada pergelaran di hari ke 2 dan ke 3, keterlibatan perempuan beserta dan narasi perempuan selalu muncul seperti Sanggar Permata Hitam menampilkan tari berjudul kancah budaya yang menampilkan wajah multikultural Sawahlunto. Para penarinya menari tarian Jawa, India, Sunda, Minang, Tionghoa secara bersama-sama.
"Tari ini pernah ditampilkan di luar negeri ketika Amran Nur menjadi wali kota. Tari ini dibawa kembali selain memeriahkan Galanggang Arang, juga untuk mengenal mendiang Amran Nur yang selalu memberi support komunitas kebudayaan di Sawahlunto untuk terus maju," ujar Kamsri Benty, pendiri Sanggar Permata Hitam.
Selain itu ada Kuda Kepang Sawahlunto, Sanggar Canang Badantiang, Sanggar Malakutan Bunian, Grup Randai Ragi Nan Lamo, serta grup REOG. Keseluruhan penampilan ada keterlibatan perempuan di dalamnya.
Sawahlunto merupakan zona A pada Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) yakni kawasan industri tambang. Kondisi ini yang menyebabkan banyak pekerja paksa didatangkan dari berbagai daerah. Hal itu yang menyebabkan mengapa sejak dulu Sawahlunto sudah beragam dan disebut sebagai kota multikultural.
Sebagai bentuk apresiasi, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Kemdikbudristek RI meluncurkan Galanggang Arang sebagai program strategis untuk menggali dan merawat kebudayaan yang bertumbuh di sepanjang kawasan WTBOS pada 19 Oktober lalu di Padang.(rilis)