Jakarta, pasbana – Organisasi-organisasi kesehatan Indonesia mengadakan konferensi pers bersama di Kantor PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk merespon dinamika perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang diduga mendapatkan intervensi dari-dari pihak berkepentingan yang bertujuan untuk memperlambat proses dan bahkan melemahkan isi RPP terutama bagian Pengamanan Zat Adiktif. Melihat peran penting masyarakat sipil dan praktisi kesehatan yang tergabung dalam organisasi masyarakat pegiat kesehatan masyarakat dan organisasi profesi kesehatan, dalam kesempatan yang sama mereka juga membacakan deklarasi dukungan Pengamanan Zat Adiktif dalam RPP Kesehatan.
Kelompok pakar dan pemerhati kesehatan masyarakat ini merasa harus turut bersuara karena mereka memahami betul permasalahan kesehatan di Indonesia akibat konsumsi produk zat adiktif tembakau dan rokok elektronik yang terus berkembang.
Disahkannya Undang-Undang Kesehatan sebagai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 pada Agustus 2023 memerlukan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan yang di dalamnya termasuk bagian Pengamanan Zat Adiktif untuk mengendalikan konsumsi produk tembakau dan turunannya. Dengan menekankan pada perlindungan masyarakat, maka harus dibuat aturan yang komprehensif dan strategis.
"Selama ini, para praktisi kesehatan adalah pihak di garda terdepan yang berhadapan langsung dengan masalah-masalah kesehatan yang diakibatkan oleh konsumsi rokok. Mereka memahami, penyakit-penyakit katastropik yang terus meningkat diiringi dengan prevalensi perokok yang tak kunjung turun, bahkan terus naik," kata DR Dr Moh. Adib Khumaidi, SpOT, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
Prevalensi perokok anak mencapai 9,1%, dan terjadi peningkatan perokok pemula di usia yang lebih muda, yaitu pada kelompok usia 10-14 dan 5-9 tahun (Riskesdas 2013, 2018).
“Saat ini, kita sedang mendapatkan ancaman serius karena tren perokok semakin muda yang berpotensi akan menghadapi penyakit akibat merokok saat usia produktif. Bahkan mulai dari sejak berada di kandungan, janin telah terpapar asap rokok yang membuatnya terancam stunting. Ditambah dengan maraknya iklan-iklan yang menarget anak-anak, mereka mulai merokok semakin dini dan kebiasaan ini kemudian merusak prefrontal cortex atau otak depan yang sangat penting dalam masa pertumbuhan mereka. Keadaan ini menjadi sangat genting dan harus segera diatasi dengan adanya aturan yang melindungi anak-anak kita dari ajakan merokok dan lingkungan yang membuatnya terpapar rokok,” jelas Dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dalam pengantar pembukanya pada konferensi pers.
Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau dianggap sangat lemah sehingga target penurunan prevalensi perokok anak sulit tercapai. Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) sendiri memprediksi peningkatan perokok anak akan mencapai 16% di tahun 2030 jika penanganan prevalensi perokok anak tidak dilakukan secara serius.
Ditambah dengan adanya rokok elektronik yang terus berkembang tak terkendali saat ini, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menganggap bahwa ini menjadi ancaman baru bagi masyarakat Indonesia, terutama anak-anak. “Maraknya rokok elektronik dan vape dengan berbagai rasa yang menarik anak-anak ini sangat berbahaya. Berbagai penelitian telah membuktikan bahayanya rokok elektronik dan vape, namun Indonesia belum punya aturan pengendaliannya. Zat kimia berbahaya pada rokok elektronik berada pada cairan/liquid yang mengandung nikotin, propilen glikol dan gliserin. Hasil penelitian RS Persahabatan, pada urin perokok elektronik terdapat kadar residu nikotin yang kadarnya sama dengan urin perokok konvensional. Dengan demikian, rokok elekronik tidak aman. Selain itu, berbagai residu rokok elektronik dalam bentuk logam dan partikel memiliki risiko jangka panjang terhadap kesehatan. Temuan pada pasien-pasien kami adalah bukti yang tak terbantah bahwa produk adiktif ini harus dikendalian segera atau kita akan menerima double burden desease; pengendalian rokok biasa longgar, ditambah tidak adanya pengendalian rokok elektronik dan vape,” ujar dr. Annisa Dian Harlivasari Sp.P, mewakili PDPI.
Global Adult Tobacco Survey (2021) menyebutkan bahwa perokok dewasa Indonesia naik 8,8 juta perokok dalam satu dekade terakhir dan perokok rokok elektronik naik 10 kali lipat. Pengendalian konsumsi rokok baik rokok konvensional maupun rokok elektronik menjadi sangat mendesak dan tanpa tawar menawar.
“Kami selaku praktisi kesehatan sangat mengharapkan kali ini Presiden Joko Widodo dan dalam hal ini Bapak Menteri Kesehatan bersikap tegas. Pentingnya aturan pengamanan zat adiktif yang komprehensif di dalam RPP Kesehatan sangat penting. Kami yang paham bagaimana di lapangan kami harus menghadapi pasien yang sudah sakit parah akibat merokok. Begitu banyak pasien datang dengan penyakit komplikasi kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner (PJK) yang disebabkan faktor risiko utama merokok. Ini bukan hanya statistik namun kenyataan di negara kita!” tegas dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI).
Senada dengan dr. Radityo, Prof. Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM, M.Epid, M.PdKed, FACP, FINASIM selaku Direktur Eksekutif Ilmiah Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) menambahkan, “Rokok adalah produk adiktif yang sangat berbahaya. Kelihatannya sepele namun dampak kesehatannya sangat besar. Pasien yang telah divonis kanker pun masih ada yang minta merokok karena dia sudah sangat teradiksi. Sifat adiktif nikotin dalam rokok membuat orang yang kecanduan benar-benar mengorbankan diri dan keluarganya, dan tentu akan berakibat lebih luas lagi secara makro pada negara. Beban biaya penyakit kanker misalnya itu sangat mahal, dan beban biaya kesehatan kita terus naik. Presiden Joko Widodo harus mawas pada warisan yang akan ditinggalkannya, apakah mau masalah kesehatan yang menumpuk di masa depan akibat ketidak tegasannya atau masa depan Indonesia yang lebih baik karena di periode jabatannya dia telah melahirkan aturan yang bagus untuk pengendalian konsumsi produk zat adiktif ini?”
Konsumsi rokok secara signifikan mempengaruhi sosial masyarakat Indonesia, dengan rumah tangga menghabiskan 11% anggaran bulanan untuk rokok, melampaui belanja makanan pokok. Biaya kesehatan akibat merokok berkisar Rp17,9 hingga Rp27,7 triliun per tahun (CISDI, 2020), yang berkontribusi pada defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan). Penolakan terhadap regulasi yang ketat untuk pengamanan zat adiktif yang didorong oleh berbagai pihak terutama industri tembakau dan pendukunganya akan melemahkan ketentuan pengendalian konsumsi dan membahayakan kesehatan masyarakat.
“Betul masalah rokok bukan hanya masalah kesehatan, namun masalah kesehatan menyebabkan banyak sekali masalah multisektor. Jangan sepelekan dampak konsumsi rokok ini, kami saksi langsung bagaimana para penderita penyakit-penyakit mematikan akibat konsumsi rokok mempengaruhi kehidupan masyarakat kita. Presiden Joko Widodo masih punya kesempatan untuk mengambil keputusan tepat, jangan biarkan Indonesia terus kecanduan produk zat adiktif ini untuk hindari kerugian multisektor mulai dari kesehatan, sosial, pembangunan ekonomi, sampai lingkungan akan terdampak. Dan kami, praktisi kesehatan, yang pertama kali menyaksikan awal munculnya kerugian-kerugian tersebut. Segera sahkan RPP Kesehatan dengan aturan Pengamanan Zat Adiktif yang tegas dan menyeluruh, lindungi rakyat Indonesia dari produk zat adiktif ini!” tegas Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Dr. dr. Sally Aman Nasution, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP seraya menutup.
Dalam kesempatan yang sama, empat belas organisasi profesi kesehatan memberikan pernyataan deklarasi bersama sebagai dukungan kepada Pemerintah Indonesia agar bersikap serius dalam penanganan konsumsi produk zat adiktif tembakau melalui Pengamanan Zat Adiktif dalam RPP Kesehatan (dokumen terlampir). Di dalamnya, tertuang dukungan empat belas organisasi terhadap pengaturan pengamanan zat adiktif demi perlindungan rakyat dari bahaya konsumsi produk tembakau dan rokok elektronik.
Empat belas organisasi tersebut adalah Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Onkologi Indonesia (POI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Wicara Esofagus, Ikatan Terapi Wicara, Yayasan Kanker Indonesia YKI, Yayasan Stroke Indonesia (YASTROKI), Institute of Mental Health Addiction and Neuroscience (IMAN), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), dan Yayasan Jantung Indonesia (YJI), serta termasuk organisasi profesi kesehatan induk Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
[rilis]