Pasbana - Nama Marah Rusli mungkin sudah tidak asing lagi bagi para pecinta sastra Indonesia. Dialah penulis roman Siti Nurbaya yang terkenal dan telah diadaptasi ke berbagai film dan sinetron.
Namun, di balik karyanya yang monumental, terdapat kisah hidup Marah Rusli yang tak kalah menarik, termasuk kisah cintanya yang berani melawan adat.
Kisah Cinta yang Melawan Adat
Marah Rusli, seorang keturunan bangsawan Minangkabau, menikah dengan seorang wanita Sunda bernama Nyai Raden Ratna Kencana Wati tanpa persetujuan keluarga.
Pernikahannya ini melawan adat Minang yang mengharuskan pernikahan sesama orang Minang.
Hal ini membuatnya harus menghadapi konfrontasi dengan keluarga dan bahkan dipaksa untuk menikah lagi dengan perempuan Minang.
Keberanian Marah Rusli dalam memperjuangkan cintanya ini tertuang dalam roman Siti Nurbaya. Tokoh Siti Nurbaya mengalami nasib yang serupa, dipaksa menikah dengan pria lain meskipun ia mencintai Samsul Bahri.
Novel ini mengkritik budaya patriarki dan pernikahan paksa yang masih lazim pada masa itu.
Pelopor Roman Modern Indonesia
Siti Nurbaya bukan hanya terkenal karena ceritanya yang menyentuh, tetapi juga karena gaya penulisannya yang modern.
Marah Rusli menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan alur cerita yang menarik. Hal ini membuatnya dijuluki sebagai pelopor roman modern Indonesia.
Cerita Siti Nurbaya masih melegenda hingga kini, dan membuat nama Marah Rusli melambung tinggi dalam dunia sastra Indonesia.
Dalam dunia sastra Indonesia, Marah Rusli digelari sebagai Bapak Roman Modern Indonesia oleh HB Jassin, yang juga salah satu sastrawan Tanah Air.
Karir dan Kehidupan Pribadi
Marah Rusli merupakan sastrawan Indonesia yang lahir di Kota Padang, Sumatera Barat, pada 7 Agustus 1889 ini lahir dalam lingkungan keluarga yang beragama Islam dan keturunan bangsawan.
Ayah Marah Rusli, Sutan Abu Bakar, adalah seorang demang yang bergelar Sultan Pangeran, yang masih keturunan langsung Raja Pagaruyung. Sedangkan ibunya berasal dari Jawa dan masih keturunan dari Sentot Alibasyah, salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.
Marah Rusli memiliki gelar yang berasal dari ayahnya yang bergelar Sultan. Dalam tradisi Minangkabau, anak laki-laki dari seorang ayah yang bergelar Sutan dan ibu yang tidak memiliki gelar akan bergelar "Marah".
Ketika berusia anak-anak, Marah Rusli mendapat pendidikan pertama di Sekolah Melayu II hingga tamat pada 1904.
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Raja Hoofden School di Bukittinggi hingga lulus pada 1910. Selama belajar di Hoofden School, Marah Rusli merupakan murid yang sangat pandai, hingga direkomendasikan oleh salah satu gurunya untuk melanjutkan sekolahnya di Belanda. Akan tetapi, orang tua Marah Rusli tidak menyetujui, sehingga ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Dokter Hewan di Bogor hingga tamat pada 1915.
Selain sebagai penulis, Marah Rusli juga berprofesi sebagai dokter hewan. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Dokter Hewan di Bogor dan kemudian bekerja di berbagai daerah di Indonesia.
Marah Rusli meninggal pada tahun 1968 dan meninggalkan banyak karya sastra lainnya, seperti Anak dan Kemenakan dan La Hami. Karyanya terus dibaca dan dipelajari hingga saat ini, dan ia dianggap sebagai salah satu sastrawan Indonesia terpenting.
Marah Rusli tidak hanya meninggalkan karya sastra yang monumental, tetapi juga teladan tentang keberanian dalam memperjuangkan cinta dan melawan adat. Kisah hidupnya dan karyanya akan terus menginspirasi generasi penerus bangsa. Makin tahu Indonesia.(*)