Oleh : Azzam Mujahid Izzulhaq
Pasbana - Satu waktu saya masuk ke ruangan kelas sebuah sekolah di China pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung (tentunya dengan seizin siempunya sekolah). Di dalam kelas itu, sebagaimana di sekolah-sekolah lainnya, terdapat meja dan kursi untuk siswa dan juga meja dan kursi untuk guru.
Lin Qingzhong, guru sekaligus Kepala Sekolah di sekolah tersebut mengatakan bahwa setiap siswa boleh berganti tempat duduk di mana pun ia suka. Tapi yg tidak boleh sama sekali duduk di kursi guru. Kendati pun guru tidak sedang menggunakannya atau bahkan guru sedang tidak ada di dalam kelas. Hukuman berat bagi pelanggarnya (btw, guru piket dan supervisor harian mengawasi semua tingkah laku siswa dan termasuk gurunya melalui CCTV di ruang ‘command center’).
Saya tanya kenapa? Sembari mencontohkan kelas di ‘barat’ yg bahkan memberlakukan ‘no chair for teacher in the classroom’ agar guru lebih aktif dan fleksibel berinteraksi dengan siswanya.
Beliau belum menjawabnya sampai kemudian ia mengajak saya ke ruangannya sambil mengambil 2 buah buku. Sambil menunjukkan buku pertama berbahasa Mandarin ia menjawab bahwa leluhur kami tidak mengajarkan murid bertindak ‘tidak sopan’ kepada gurunya, termasuk duduk (atau berdiri) di tempat guru mengajar adalah nir adab. Terserah ‘barat’ mau melabel bahwa kuno atau konservatif. Tapi faktanya kami bisa mengalahkan ‘barat’, lanjutnya.
Sambungnya lagi, dan pendahulumu juga memberitahukan itu (tentang aturan antara murid terhadap guru dan ilmu) dalam buku klasik ini. Buku itu berbahasa Inggris. Tapi pengarangnya begitu akrab dibenak saya: Imam Az Zarnuji. Buku itu berjudul: Instructions of Student: The Method of Learning (diterjemahkan oleh G.E. Von Grunebaum dan Theodora M. Abel pada tahun 1947. Sementara buku aslinya sendiri ditulis pada abad ke-12).
Buku pertama berbahasa Mandarin itu saya lupa judulnya. Tapi buku kedua, sampai hari ini saya masih ingat. Karena sejatinya buku ‘panduan’ pedagogik yg ternyata diterapkan pada sistem belajar dan mengajar di China adalah kitab klasik fenomenal yg berjudul aslinya Ta’lim al Muta’allim Thariq al Muta’allum karya Imam Az Zarnuji yg di sekolah-sekolah agama (pesantren) diajarkan.
Sementara kita (sebagiannya) malah mengikut ‘barat’ yg malah hasilnya membentuk karakter siswa yg ‘kurang ajar’ terhadap gurunya. Sehingga hasilnya ya kita mendapatkan rata-rata IQ 78 karena ada adab penuntut ilmu yg dilupakan atau ditinggalkan. Mengambil istilah klasik: kita kehilangan keberkahan dari guru dan ilmu.
Mau sampai kapan? Mau mengejar ketertinggalan? Semua jawabannya bergantung pada respon dan jawaban kita sekarang.(*)