Oleh: Sulaiman Juned *)
Pasbana - TRADISI Makmeugang atau Meugang bagi masyarakat Aceh telah menjadi budaya. Meugang tetap dilaksanakan bagi masyarakat Aceh walaupun tidak menetap di negerinya.
Makmeugang atau Meugang diawali pada masa kerajaan Aceh dengan memotong hewan dalam jumlah yang banyak lalu dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur dan ungkapan terima kasih atas kemakmuran negeri Aceh dalam menyambut hari-hari besar (suci) umat Islam.
Menurut Wikipedia, tradisi Meugang sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu. Tradisi ini dimulai sejak masa kerajaan Aceh Sultan Iskandar Muda (1607—1636 Masehi). Masa itu Sultan Iskandar Muda memotong hewan yang banyak lalu membagikannya kepada masyarakat.
Makmeugang atau Meugang merupakan tradisi yang diawali dengan pemotongan sapi, kerbau, kambing, dan ayam, serta itik (bebek). Kebiasaan ini dilakukan ketika menyambut bulan Ramadan (dua hari sebelum Ramadan), atau dua hari sebelum hari raya Idulfitri, juga hari raya Iduladha. Empat hari sebelum Makmeugang sudah mempersiapkan segela kebutuhan Makmeugang.
Kegiatan Makmeugang memiliki nilai religius dengan bersedekah atau saling berbagi sesama masyarakat yang memiliki kemampuan lebih kepada masyarakat kurang mampu. Ini sekaligus memupuk nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong.
Setiap lebaran Idulfitri, iduladha atawa menyambut Ramadan. Sedangkan saya sudah 28 tahun berada di Ranah Minang, namun budaya dan tradisi Makmeugang tetap kami lakukan. Istri saya tetap memasak Sie Merah atawa Sie puteh dan tidak lupa Soto kesukaan kami sekeluarga juga mempersiapkan penganan Lontong khas Aceh.
Hal ini sekaligus di siapkan untuk lebaran pertama Idul Fitri untuk saling berbagi, juga saling bersilaturahim dengan masyarakat Aceh yang berdomisili di Padangpanjang khususnya dan Sumatera Barat umumnya.
“Makmeugang atau Meugang adalah tradisi memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga dan yatim piatu oleh masyarakat Aceh.” (Wikipedia).
Atas dasar itulah, keluarga saya di Padang Panjang, Sumatra Barat dalam Makmeugang pertama . Kami tidak memotong hewan, tetapi kami membeli daging di pasar. Lalu, istri saya memasak sie mirah (daging merah), sie puteh (daging putih atau masak daging kurma namanya kalau di Minang), memasak rendang daging, Opor ayam kampung, juga memasak soto kesukaan saya.
Ada lagi yang telah menjadi warisan secara turun temurun dalam keluarga kami setiap hari raya (lebaran) baik itu Idulfitri maupun iduladha, kami selalu memasak ketupat/ lontong khas Aceh.
Kenapa menjadi khas, karena selain ketupat/lontong yang memiliki racikan masakan sayurnya boleh jadi sayur lodeh dari buah jipang, atau sayur gudeg dari buah nangka. Kali ini istri saya memasak sayur gudeg dari buah nangka.
Ditambah Opor Ayam kampung, Rendang Daging, Coco yang diracik dengan cabai hijau, kentang dan hati daging kerbau, Sambal goreng tempe, serta serbuk kacang kuning yang telah ditumbuk.
Semuanya diaduk jadi satu, luar biasa nikmatnya. Hal ini tentu untuk menjaga budaya dan tradisi makmeugang tetap terjaga walau berada dirantau. (*)
*) Sulaiman Juned adalah Sastrawan, esais, kolomnis, Sutradara Teater, Ketua Panitia Pendirian ISBI Aceh, Pendiri Sanggar Ceka Banda Aceh, Pendiri/Penasihat Komunitas Seni Kuflet Kota Padang Panjang, Dosen Penyutradaraan pada Jurusan Seni Teater ISI Padangpanjang, Ketua Umum Majelis Adat Aceh (MAA) Perwakilan Sumatera Barat.7