Notification

×

Iklan

Iklan

Buni-bunian #4: Komponis Lintas Genre Sumatera Tampil di Padang

24 Mei 2024 | 15:27 WIB Last Updated 2024-05-24T08:29:50Z



Pasbana - Ratusan pengunjung menghadiri Showcase Buni-Bunian #4 yang digelar Forum Komponis Muda Sumatra Barat (FKM Sumbar) di Kota Padang pada Kamis, 23 Mei 2024 di Fabriek Bloc. Pengunjung berasal dari berbagai kalangan mulai dari komunitas, musisi, praktisi, akademisi dan lainnya.

Jumaidil Firdaus, ketua FKM Sumbar menyebutkan showcase #1 hingga #3 sukses telah digelar di Kota Padang Panjang dan Padang. Antusias masyarakat untuk mengapresiasi karya komponis juga cukup baik. Helatan ini sengaja digelar di ruang publik sehingga komposisi musik yang dihadirkan tidak berjarak dari masyarakat.

“Dari Buni-bunian #1 hingga #4, terhitung ada 20 komponis yang kami libatkan. Pada helatan kali ini, kita memperluas jangkauan. Jika dulu hanya merangkul komponis dari Sumatra Barat, kini melibatkan 2 daerah lain yakni Jambi dan Bangko. Selain itu, helatan kali ini juga menampilkan karya dari komponis perempuan,” ujar lelaki yang juga merupakan musisi dari Orkes Taman Bunga ini. (23/05)



Buni-bunian #4 melibatkan 6 komponis berbakat asal 5 daerah di Sumatra yakni Angga Mozaik dari Pariaman, Yogi Rizaldi dari Jambi, Azzura Yenli Nazrita dari Agam, Deni Januarta dari Padang, Deddy Setiawan dari Bangko dan Ossi Dharma dari Padang.

Angga Mozaik menjadi penampil pertama dengan judul karya Overcoding. Overcoding berangkat dari pembacaan pengkarya tentang budaya Minangkabau, di mana kode menjadi fenomena sekaligus konsep sentral. Pada praktik komunikasi sosial, kode menjelma dalam bentuk dialek, bahasa, postur, gestur, sikap dan lainnya yang secara tidak langsung membentuk identitas individu, kelompok atau suku. Pengkarya menggunakan laptop untuk mentafsirkan ‘kode’ dalam bentuk audio atau suara yang diolah dengan gaya soundart.

Deddy “Chunded” Setiawan menyuguhkan karya yang berjudul Phubbing. Pengkarya membaca fenomena di mana orang lebih memilih fokus kepada gadget dan mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Kondisi itu menimbulkan ketidaknyamanan karena interaksi antar personal yang berubah.

Kemudian ada Ossi Darma dengan judul karya Suasanada. Pada karyanya, Ossi mencoba mendobrak asumsi lama bahwa minor cenderung sedih dan mayor cenderung senang. Ia meyakini bahwa setiap jalinan nada di setiap instrumen memiliki suasana tersendiri dan intepretasi yang luas. Ossi menghadirkan komposisi musik yang menggabungkan musik digital dengan beberapa medium tradisional.




Yogi Rizaldi tampil dengan karyanya berjudul Trance. Trance merupakan kondisi kesadaran yang berada di luar kendali pikiran. Pengkarya mengamati fenomena trance yang terjadi saat pembacaan mantra (nyerau) untuk memanggil roh halus pada upacara ritual tradisi ngagah harimau pada masyarakat Pulau Tengah, Kab. Kerinci. Beberapa bagian syairnya berisi tentang mantra tradisi dan diiring musik digital, gitar, dan triangle.

Deni Januarta membawa karya yang berjudul Sisyphus. Pengkarya mengamati tentang hilangnya makna, nilai , dan kemanusiaan pada pencapaian karya seni itu sendiri. Melalui karyanya, Deni ingin menyampaikan bahwa karya merupakan wujud yang sangat personal, jujur, dan apa adanya.

Terakhir ada Azzura Yenli Nazrita yang menampilkan karya komposisi dengan judul Niscala. Niscala berasal dari bahasa sansekerta yang berarti kuat dan kokoh. Pengkarya membaca fenomena perempuan yang berjuang untuk hidup, di tengah gempuran budaya patriarki. Pembacaan itu kemudian dijelma dalam syair lagu, ketukan gong yang dipukul oleh 6 perempuan yang duduk melingkar, dan gerakan tubuh para penampil.

“Pada sesi pertama, setiap komponis menampilkan karyanya. Di sesi ke-dua, mereka diminta untuk memaparkan gagasan dan proses kreatif dalam berkarya,” ujar Jumaidil.

Sesi diskusi berlangsung hangat. Ragam pertanyaan hadir dari peserta mulai dari konsep karya, capaian artistik hingga ke soal keterikatan (enggagment) antara penonton dan pengkarya. Sejauh mana pengkarya mampu membuat penonton memahami pesan yang disampaikan melalui karyanya? Sejauh mana penonton mampu memahami karya yang disuguhkan pengkarya? Bagaimana membangun keterikatan antara pengkarya dan penonton? 

Sesi ini juga membahas respon seni untuk kehidupan hari ini. Selain bertanya, para peserta juga memberi kritik dan masukan untuk setiap karya yang tampil. Kemudian, para pengkarya diberi ruang untuk menanggapi setiap pertanyaan dan sanggahan yang ditujukan kepadanya.

“Diskusi ini sangat menarik dan mendorong komponis untuk lebih giat serta serius lagi dalam berkarya. Komposisi musik adalah medium untuk menyampaikan kegelisahan pengkarya atas realita sosial kepada publik. Karenanya, pengkarya harus bisa mempertanggungjawabkan karyanya di depan publik,” ujar Azzura, salah satu komponis yang tampil pada helatan kali ini.

Taufik Adam, seniman multi instrumentalist, musisi dan komponis dunia asal Sumatra Barat yang juga hadir pada Buni-bunian #4 menyampaikan pandangannya. “ Showcase ini merupakan ruang eksperimental yang menghasilkan praktik baru, dikritik dan kemudian diperbaharui,” ujar lelaki yang merupakan pendiri dari Yayasan Budaya Taufik Adam sekaligus Direktur Artistik dari program Buni-bunian. 




Menurut Taufik, showcase kali ini menarik karena disupport oleh banyak komunitas. Ia juga menyebutkan bahwa seluruh pembiayaan kegiatan dikumpulkan secara kolektif mulai dari penyediaan tempat, peralatan, soundsystem sampai ke konsumsi penampil. Selain itu, para komponis menampilkan berbagai gambaran bentuk musik mulai dari musik elektronik, eksperimental, musik tradisi elektronik, fusion instrumental dan tradisi eksperimental.

Forum Komponis Muda Sumatra Barat


FKM Sumbar awalnya diinisiasi oleh sejumlah komponis muda Sumatra Barat pada pertengahan tahun 2018. Sejak itu, forum ini aktif membuat diskusi seputar komposisi musik dan komponis Sumbar. Kemudian di tahun 2023, FKM Sumbar merasa perlu untuk mengagendakan showcase kecil namun berkelanjutan yang diberi nama ‘Buni-Bunian’. Kegiatan ini dilaksanakan setiap 2 bulan sekali pada kota yang berbeda.




Kata ‘musik’ yang dikenal sekarang, dahulu orang Minang menyebutnya ‘buni-bunian’. Kata ‘Buni-bunian’ tidak hanya merujuk pada bunyi ensambel alat musik tradisional yang ada di acara perhelatan saja. Tetapi juga kepada bunyi yang bersifat fungsional seperti bunyi canang, tong-tong, atau yang lainnya.

“Buni-Bunian sengaja tidak digelar pada ruang pertunjukan yang ekslusif, melainkan di ruang publik. Musik lahir dari realita sosial, sudah semestinya karya komposisi musik dihadirkan pada ruang yang tidak berjarak dari masyarakat,” tutup Jumaidil.

Buni-bunian #4 ini didukung oleh Fabriek Bloc, Yayasan Budaya Taufik Adam, Ruang Sarga, Codoik Sound Militia, Sirangkak, Gazp, Kampank dan Komunitas Seni Nan Tumpah.[*]

IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update