Notification

×

Iklan

Iklan

Jebakan FOMO Dikalangan Pejabat: Viral Dulu Realisasi Pikir Kemudian

09 Mei 2024 | 11:48 WIB Last Updated 2024-05-09T08:20:01Z


Pasbana - Di era digital ini, FOMO (Fear of Missing Out) bagaikan virus yang menjangkiti hampir semua kalangan, termasuk para pejabat. 

Ketakutan akan tertinggal tren, terlupakan publik, dan dianggap "tidak kekinian" mendorong mereka untuk selalu tampil di depan layar, memviralkan ide-ide baru tanpa pertimbangan matang.

Bayangkan, seorang pejabat yang baru saja melihat tren viral di media sosial, langsung melontarkan janji bombastis untuk membangun infrastruktur fantastis, tanpa memikirkan studi kelayakan, anggaran, dan teknis pengerjaannya. 

Hal ini bagaikan FOMO akut yang menggerogoti logika dan mengaburkan visi.

Falsafah FOMO pejabat ini bagaikan pepatah lama: "Lebih baik salah daripada tidak viral."
 

Ketakutan akan kritik dan cibiran publik lebih besar daripada rasa malu karena gagalnya program yang dicanangkan. Tak jarang, program-program ini hanya menjadi wacana semata, terkubur dalam tumpukan janji dan harapan yang pupus.

Ironisnya, FOMO ini justru menciptakan budaya instan dan serampangan dalam penyusunan kebijakan publik. Program-program dibuat asal-asalan, tanpa arah dan tujuan yang jelas, hanya demi mengejar sensasi dan popularitas sesaat.

Masyarakat pun dibuat bingung dan kecewa. Mereka diiming-imingi dengan janji-janji manis, hanya untuk kemudian dihadapkan pada kenyataan pahit: program-program tersebut hanyalah ilusi, fatamorgana di tengah gurun pembangunan yang terbengkalai.

FOMO pejabat ini bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Jika tidak dikontrol dan diubah, budaya ini akan terus menggerogoti kredibilitas pemerintah dan menghambat kemajuan bangsa.

Solusinya?


Pertama, pejabat perlu melepaskan diri dari cengkeraman FOMO dan menggantinya dengan budaya perencanaan dan pertimbangan matang. 

Setiap program harus didasarkan pada studi kelayakan yang mendalam, mempertimbangkan anggaran, teknis pengerjaan, dan dampaknya bagi masyarakat.

Kedua, transparansi dan komunikasi yang terbuka dengan publik menjadi kunci. Masyarakat berhak mengetahui proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program-program pemerintah. Hal ini akan membangun kepercayaan publik dan mencegah munculnya rasa tertipu dan kecewa.

Ketiga, perlunya budaya evaluasi dan akuntabilitas. Setiap program harus dievaluasi secara berkala untuk mengukur efektivitasnya dan melakukan perbaikan yang diperlukan. Pejabat yang gagal memenuhi janjinya harus bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan kinerjanya.

FOMO memang fenomena yang tak terelakkan di era digital. Namun, pejabat perlu belajar mengendalikannya dan tidak terjebak dalam pusaran viral tanpa perencanaan matang. 

Hanya dengan budaya perencanaan, transparansi, dan akuntabilitas, FOMO dapat diubah menjadi kekuatan positif yang mendorong kemajuan bangsa.(inyong) 

IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update