Foto: Keadaan lokasi Kecamatan Lima Kaum yang dipenuhi oleh lumpur (Doc.Sri Rahayu) |
Oleh: Wardatul Ummah
Mahasiswi Institut Seni Indonesia Padang Panjang
Pasbana - Sumatera Barat kembali berduka, bencana alam yang baru saja menghujam beberapa daerah di Sumatera Barat membuat masyarakat menjadi was-was dan trauma.
Dari bencana banjir galodo ini terbukti betapa besarnya kuasa Allah dan bagaimana cara kita berkaca dari bencana demi kesiapan kita.
Malam yang seharusnya tenang pada saat itu diriuhkan dengan curah hujan yang tinggi. Hingga terdengar suara air yang mengalir deras dari arah Gunung Marapi, air yang mengalir bersamaan dengan batu-batu besar dan kayu-kayu besar itu menghempaskan beberapa nagari yang ada di Kecamatan Lima Kaum antara lain Nagari Perambahan, Nagari Panti dan Nagari Simpang Manunggal.
Banjir galodo yang terjadi pada saat itu tidak hanya menelan banyak pemukiman warga tetapi juga menelan banyak korban.
“Awal kejadiannya itu Sabtu malam (11/05/24). Curah hujan tinggi pada malam itu dan langsung datang air besar dan batu-batu besar dari arah Gunung Marapi dan langsung terkena tiga nagari yaitu Nagari Perambahan, Nagari Panti, dan Nagari Simpang Manunggal.” Ungkap Sri Rahayu, Minggu (19/05/24).
Foto: Keadaan di lokasi Kecamatan Lima Kaum |
Pohon-pohon besar dan batu-batu terbawa arus air deras bersamaan dengan lumpur (Doc.Sri Rahayu)
Lokasi yang paling parah terjadi di Nagari Perambahan, dimana nagari ini habis dipenuhi dengan lumpur yang tingginya sampai sebatas lutut orang dewasa, dan rumah-rumah warga juga habis diseret galodo.
Jalanan di Nagari Perambahan tak dapat lagi dilihat dengan kasat mata karena sudah dipenuhi dengan lumpur yang sangat tinggi.
Kini daerah yang dahulunya asri dengan kehijauan pohon-pohonnya itu hanya terlihat seperti tanah kosong yang luas dengan kayu-kayu yang berserakan.
Warga-warga yang melihat adanya arus air deras yang akan datang menghujam daerahnya sempat menyelamatkan diri dengan mengungsi dibeberapa tempat, sedangkan warga-warga yang sudah istirahat pada malam itu ikut hanyut terbawa arus air yang deras.
Terdapat satu keluarga yang hilang yaitu ayah, ibu, nenek, dan tiga orang anaknya. Dan kini tiga anaknya telah ditemukan tanpa kedua orang tua dan neneknya.
“Warga-warga yang berhasil menyelamatkan diri mengungsi di beberapa tempat, ada yang sudah istirahat pada malam itu dan ada satu keluarga yang hilang yaitu, tiga orang anak, ayah, ibu, dan nenek. Saat ini tiga orang anaknya sudah berhasil ditemukan.” jelas Sri Rahayu.
Foto: Keadaan lokasi di Nagari Perambahan, semua jalanan dan pemukiman habis ditelan lumpur (Doc.Sri Rahayu) |
Sama halnya dengan Nagari Simpang Manunggal. Semua pemukiman habis terseret banjir galodo, kecuali satu masjid dan satu rumah. Masjid ini bernama Masjid Al-Ikhlas yang masih kokoh setelah kejadian bencana banjir galodo tersebut.
Rumah yang selamat adalah rumah milik seorang ustad, dimana beliau sehari-harinya selalu rajin melaksanakan ibadah sholat lima waktu ke Masjid Al-Ikhlas tersebut dan beliau memiliki sifat yang sangat ramah kepada orang lain terutama ke warga setempat, dan juga beliau memiliki tiga orang anak hafidz al-qur’an.
Maka dari itu tak khayal rumah beliau selamat dari bencana galodo ini. Hafalan-hafalan al-qur’an yang anaknya miliki dan ibadah-ibadah yang beliau jalankan selama ini seolah menjadi tameng bagi rumahnya sehingga terlindungi dari bencana banjir galodo ini.
“Semua terseret air dan tidak ada yang tersisa, hanya satu rumah dan masjid yang tidak di bawak arus air. Yaitu rumah seorang ustad yang mempunyai tiga orang anak hafidz. Ustad itu sering pergi sholat jamaah ke mesjid, dan selalu ramah ke orang lain,” tambah Sri Rahayu.
Foto: Masjid Al-Ikhlas yang selamat dari bencana banjir galodo (Doc.Sri Rahayu) |
Betapa besar kuasanya, ketika segala bangunan-bangunan yang terlihat kokoh hancur dengan seketika. Tetapi rumah yang sederhana masih diberi perlindungan hingga selamat dari bencananya.
Masjid yang masih berdiri kokoh seolah pengingat bagi umatnya bahwa ia tidak hanya memberi cobaan tetapi juga masih memberi kesempatan kepada kita sebagai umatnya untuk berserah dan mengadu kepadanya. [WU-30]
*Penulis adalah mahasiswi Institut Seni Indonesia Padang Panjang.