Pasbana - Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang menjadi kewajiban bagi umat Islam yang mampu. Bagi umat Islam di Hindia Belanda, ibadah haji tidak hanya bernilai spiritual, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan politik.
Hal ini menarik perhatian pemerintah kolonial Belanda yang melihat potensi pergerakan haji dalam mengancam kekuasaan mereka.
Kebijakan Penjajah Belanda tentang Ibadah Haji
Sejak awal abad ke-19, Belanda mulai menerapkan berbagai regulasi untuk mengatur ibadah haji. Kebijakan ini didasari oleh beberapa kekhawatiran, di antaranya:
- Kekhawatiran akan pengaruh politik haji: Belanda melihat potensi haji sebagai sarana bagi para pemimpin agama untuk menyebarkan sentimen anti-kolonial dan memobilisasi perlawanan rakyat.
- Kekhawatiran akan dampak ekonomi haji: Kepergian jemaah haji dalam jumlah besar dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan produksi di Hindia Belanda.
- Kekhawatiran akan penyebaran penyakit: Belanda ingin mencegah penyebaran penyakit menular dari dan ke Hindia Belanda melalui perjalanan haji.
- Ordonansi Haji 1825: Merupakan regulasi pertama yang mengatur tentang haji, di antaranya kewajiban bagi jemaah haji untuk mendapatkan paspor dan surat izin dari pemerintah.
- Ordonansi Haji 1859: Memperketat regulasi sebelumnya, termasuk mewajibkan jemaah haji untuk mendepositokan sejumlah uang sebagai jaminan kepulangan mereka.
- Undang-Undang Haji 1893: Memberikan kontrol lebih besar kepada pemerintah Belanda dalam mengatur penyelenggaraan haji, termasuk pendirian Haji-Commissie (Komisi Haji) yang bertugas mengawasi dan mengelola perjalanan haji.
Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda, memainkan peran penting dalam merumuskan kebijakan Belanda tentang haji. Ia melakukan penelitian mendalam tentang Islam di Hindia Belanda dan menyarankan berbagai strategi kepada pemerintah kolonial.
Hurgronje berpendapat bahwa Belanda tidak perlu melarang haji, tetapi harus mengaturnya dengan cermat untuk meminimalkan dampak negatifnya.
Beberapa saran Hurgronje yang diadopsi oleh pemerintah Belanda antara lain:
- Pendirian sekolah haji: Bertujuan untuk membekali jemaah haji dengan pengetahuan agama yang benar dan mencegah mereka terpapar ideologi radikal.
- Peningkatan pengawasan terhadap jemaah haji: Dilakukan melalui berbagai cara, seperti penempatan agen rahasia di kapal haji dan pemantauan kegiatan para haji sepulang mereka dari Mekkah.
- Pemberian gelar haji kepada para pemimpin agama: Diharapkan dapat menjinakkan mereka dan mencegah mereka menjadi sumber perlawanan terhadap Belanda.
Kebijakan Belanda tentang haji dan sepak terjang Snouck Hurgronje memiliki dampak yang kompleks dan multidimensi. Di satu sisi, kebijakan tersebut berhasil dalam beberapa hal, seperti mengurangi jumlah jemaah haji dan mengendalikan pergerakan mereka.
Namun, di sisi lain, kebijakan tersebut juga menimbulkan berbagai konsekuensi negatif, seperti memicu kebencian terhadap Belanda di kalangan umat Islam dan memperkuat sentimen anti-kolonial.
Peran Snouck Hurgronje dalam merumuskan kebijakan haji juga menuai kontroversi. Ia dikritik oleh beberapa pihak karena dianggap terlalu berpihak kepada Belanda dan tidak memahami dengan baik esensi ibadah haji.
Data:
- Jumlah jemaah haji dari Hindia Belanda mengalami fluktuasi selama periode kolonial Belanda. Pada awal abad ke-19, rata-rata terdapat sekitar 5.000 jemaah haji per tahun. Jumlah ini meningkat pesat pada akhir abad ke-19 dan mencapai puncaknya pada tahun 1926 dengan 52.000 jemaah haji.
- Biaya haji pada masa kolonial Belanda tergolong mahal. Pada tahun 1859, rata-rata biaya haji mencapai sekitar f. 500 (sekitar Rp 75 juta).
Referensi
- Ricklefs, M. C. (2006). Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press.
- Notosusanto, N. (2005). Sejarah Nasional Indonesia. Balai Pustaka.
- Faried, A. (2010). Jejak Langkah Snouck Hurgronje di Hindia Belanda. Pustaka Utama.
- Van der Meulen, B. (2002). Snouck Hurgronje and the Study of Islam. Leiden University Press.
(Budi)