Jakarta, pasbana - Disrupsi digital yang dialami oleh perusahaan media ikut berdampak pada rendahnya
kepercayaan publik terhadap pers. Perkembangan digital dan teknologi memunculkan kehadiran content
creator dan banjirnya informasi, yang sedikit banyak membuat media seolah terpinggirkan.
“Salah satu isu yang paling mengemuka adalah trust serta bagaimana mengembalikan kepercayaan
publik kepada media,” kata Wahyu Dhyatmika, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).
Pernyataan ini selaras dengan laporan Reuters Institute Digital News Report 2024 yang memperlihatkan
tren global penurunan kepercayaan publik terhadap media pemberitaan sampai 40 persen.
Padahal, kata Wahyu, perusahaan pers punya banyak kelebihan dibandingkan content creator yaitu
menerapkan disiplin kerja jurnalistik, melakukan proses verifikasi dan konfirmasi, serta taat pada kode
etik. “Ini seharusnya membuat perusahaan media menjadi referensi fakta di tengah banjir informasi digital.”
Sejak berdiri pada 2017, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) memiliki visi utama yakni membangun
media yang bisnisnya sehat dan kontennya berkualitas. Visi itu diwujudkan dengan melaksanakan dua
misi yakni memperkuat sistem produksi dan distribusi jurnalisme berkualitas di platform digital dan
mendukung upaya membangun ekosistem bisnis yang sehat demi keberlanjutan (sustainability) media di
Indonesia.
Karena itu juga, kata Wahyu, perusahaan media perlu menegaskan posisinya sebagai benchmark soal
bagaimana seharusnya perusahaan dikelola. Salah satunya dengan mengadopsi nilai-nilai Lingkungan,
Sosial dan tata Kelola (Environmental, Social and Governance, ESG) dalam manajemen perusahaan
media. Diskursus mengenai ESG juga kerap dihubungkan dengan pentingnya penerapan kesetaraan
gender, keberagaman dan inklusivitas (Gender Equality, Diversity and Inclusion) atau GEDI di dalam
perusahaan.
“Perusahaan media digital tidak boleh hanya berpikir tentang bagaimana mengelola audiensnya,
bagaimana memperoleh manfaat dari produk yang diterbitkan, tapi juga mengedepankan prinsip
pengelolaan yang baik dan beretika serta mematuhi prinsip-prinsip ESG. Bagaimana cara kita mencapai
itu? Karena itulah AMSI menyusun Modul dan SOP Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Berbasis
Gender Online (KBGO).”
Sebagai bentuk ikhtiar mendorong media untuk melindungi jurnalis dan staf medianya dengan memiliki
mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan berbasis gender online, Asosiasi Media Siber
Indonesia (AMSI) menyelenggarakan kegiatan Diseminasi Modul dan SOP Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) untuk Perusahaan Media secara daring. Kegiatan yang
1
dilaksanakan pada Selasa (23/7/2024) secara daring ini diikuti oleh lebih dari 100 peserta dari berbagai
kalangan yaitu pemimpin media, jurnalis, pekerja media, CSO/NGO, dan publik.
Modul dan SOP ini disusun setelah menganalisa hasil riset Menilik Kebijakan dan Pengalaman Kesetaraan
Gender serta Kekerasan Berbasis Gender di Perusahaan Media, yang dilakukan AMSI dan Pemantau
Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA).
Riset pengalaman kesetaraan gender
Peneliti PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media) Engelbertus Wendratama memaparkan, ini
kali pertama sebuah penelitian tentang kesetaraan gender dilakukan dengan subyek berupa perusahaan
media. “Biasanya riset hanya menyasar jurnalis sebagai subyek. Ini kali pertama ada riset soal kebijakan
kesetaraan gender di perusahaan media,” kata Wendra.
Riset berjudul “Menilik Kebijakan dan Pengalaman Kesetaraan Gender serta Kekerasan Berbasis Gender
di Perusahaan Media” dilakukan oleh PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media), pada
Februari-Maret 2024, lewat survei atas 277 responden dari 27 wilayah. Responden terdiri dari jurnalis
dan pekerja media untuk mengetahui apa saja kebijakan yang dibuat oleh media terkait KBGO dan
perlindungan berbasis gender pada umumnya.
Survei itu lantas ditindaklanjuti dengan dua kali diskusi
kelompok terarah (Focus Group Discussion) untuk mempertajam dan memperkaya hasil riset.
Hasil riset memotret dari aspek ketenagakerjaan dan kerja redaksi. Untuk dimensi kesetaraan gender,
maka yang disorot lebih dalam adalah nilai inidividu, budaya internal dan praktik keseharian serta
kebijakan berbasis gender dalam perusahaan media, akses ke sumber daya dan kekerasan seksual luring
serta daring.
“Dari lima dimensi yang diukur, maka skor total adalah 44,33 dengan nilai tertinggi 65,” kata Wendra.
Dari hasil riset ini, Wendra mencatat sejumlah pekerjaan rumah bagi perusahaan media. Diantaranya
soal masih banyaknya persoalan stereotip terhadap perempuuan, pembedaan gender untuk pekerjaan
tertentu, serta masih adanya ujaran kebencian dengan target perempuan.
Terkait kebijakan berbasis gender, skor yang diperoleh adalah 9 dari nilai maksimal 18. “Banyak media
yang belum punya SOP untuk mengatasi kekerasan berbasis gender serta belum punya aturan proporsi
gender dalam aktivitas kerja.”
Salah satu yang jadi sorotan PR2Media adalah prosentase kekerasan seksual secara luring dan daring di
tempat kerja memiliki nilai yang sama yaitu 5,8%. “Ini sesuai dengan apa yang dikatakan UNESCO, bahwa
kekerasan gender luring dan daring itu berjalan bersamaan, dan tidak bisa dipisahkan.”
2
Dari hasil riset dan FGD oleh PR2Media yang melibatkan 277 responden dari perwakilan media anggota
AMSI, ada temuan bahwa peraturan tertulis untuk menangani Kekerasan Seksual (KS) dan Kekerasan
Berbasis Gender Online (KBGO) di perusahaan media itu ‘sangat minim atau belum ada sama sekali’.
“Meski tidak ada aturan tertulis, lingkungan kerja perusahaan bisa menciptakan ekosistem yang
menjunjung kesetaraan gender. Namun ini sangat tergantung pada kebijakan pimpinan. Kalau
pimpinannya bagus, maka tidak apa-apa. Tapi bagaimana jika tidak?” tanya Wendra.
Wendra menekankan, keberadaan aturan soal GEDI (Gender Equality Diversity and Inclusion) harus
dilihat sebagai keunggulan kompetitif perusahaan sehingga bisa lebih baik melayani kebutuhan publik.
“Praktik kesetaraan gender jangan dilihat sebagai beban baru. Tapi ini justru jadi pendorong positif bagi
praktik jurnalisme dan bisnis,” tutup Wendra.
Praktik baik di perusahaan media
IDN Times adalah salah satu perusahaan media anggota AMSI yang sudah memiliki SOP terkait kekerasan
seksual dan KBGO di tempat kerja.
“Isu kekerasan seksual menjadi perhatian bagi media-media yang ada di bawah IDN Times. Dan
keresahan ini meningkat di masa pandemi, ketika orang terperangkap di rumah, punya partner yang
abusive, serta ada peningkatan kasus KDRT dan kekerasan seksual. Seraya meliput dan kala itu ikut
mendorong dikeluarkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, maka kita mulai hal yang sama di
perusahaan,” kata Uni Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times.
IDN Times mengeluarkan SOP Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja pada 1 Februari
2022.
Aturan tersebut lantas diperbarui dengan SOP Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lingkungan
Kerja dan Kekerasan Berbasis Gender Online, pada 1 Maret 2024. IDN Times bahkan mempekerjakan
seorang psikolog sebagai konselor kesehatan mental untuk menangani kasus kesehatan mental di
perusahaan media tersebut.
“Salah satu yang menonjol dari sebuah perusahaan media yang menargetkan kelompok milenial dan Gen
Z adalah kesadaran yang tinggi soal kekerasan seksual, kesetaraan gender, serta KBGO. Dan concern
kesetaraan itu juga diturunkan dalam 7 Pilar Konten yang berlaku di IDN Times,” tambah Uni.
Tujuh Pilar Konten dari IDN Times berisi panduan soal bagaimana sebuah konten diproduksi. Ketujuh
pilar tersebut adalah kesetaraan gender, anti pelecehan seksual, anti perundungan, persatuan dalam
perbedaan ras dan etnis, persatuan dalam perbedaan kepercayaan, anti stereotipe, serta mendefinisikan
kembali arti kata ‘cantik’ (redefining beauty).
3
“Ini semacam kode etik jurnalistik, yang kalau pakai bahasa (generasi) boomer itu isinya melarang ini
melarang itu. Tujuh Pilar Konten IDN Times adalah inti dari kode etik jurnalistik yang berlaku di IDN
Times,” kata Uni Lubis.
Modul dan SOP untuk perusahaan media
Keberadaan SOP ini makin penting setelah Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Dewan Pers tentang
Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perusahaan Pers pada 29 April 2024.
Ini
menunjukkan pentingnya isu kekerasan seksual dan KGBO bagi perusahaan pers.
AMSI mengeluarkan Modul dan SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender Online
(KBGO) untuk Perusahaan Media.
“Landasan hukum dari SOP ini adalah Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ujar penulis
modul sekaligus konsultan GEDI, Nita Roshita.
“Kehadiran SOP ini sesuai dengan visi AMSI, yaitu menciptakan ekosistem media yang sehat dan
berkualitas. Yang kita pertahankan adalah kepercayaan dari publik. Dan media harus menjaga itu.“
Nita menegaskan, kasus Kekerasan Seksual (KS) maupun Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) bisa
terjadi pada perempuan, laki-laki atau gender apa pun.
“Jika laki-laki jadi korban, biasanya mereka jadi
korban dua kali. Karena tidak ada yang percaya, mereka akan ditertawakan atau dianggap lemah dan
sebagainya.”
Nita menjabarkan mengapa keberadaan SOP ini penting bagi bisnis perusahaan media.
“Jika terjadi kasus KS atau KBGO di perusahaan media, maka ini akan berdampak pada reputasi bisnis. Ini
juga bisa menimbulkan turn over karyawan yang tinggi, karena tidak ada yang mau jadi korban KS atau
KBGO selanjutnya,” papar Nita.
“Angka ketidakhadiran karyawan di perusahaan yang ada kasus KS maupun KBGO juga tinggi. Ada riset di
Journal of Community Health yang menunjukkan kalau korban punya risiko 1.7 kali lipat untuk tidak
masuk kerja selama dua pekan dalam setahun akibat kasus KS.
Akibatnya, produktivitas berkurang dan
ujungnya investor akan menilai kesehatan manajemen perusahaan yang buruk.”
Laporan perusahaan konsultan manajemen McKinsey (2020) yang berjudul Diversity Wins: How Inclusion
Matters juga menyebut, ruang kerja yang inklusif dan aman dapat meningkatkan profit dan perusahaan
menjadi berkelanjutan.
Modul dan SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) untuk
Perusahaan Media yang dikeluarkan AMSI ini dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan dan kapasitas
4
perusahaan media.
“Kami menyadari bahwa kapasitas perusahaan media itu tidak sama, sehingga SOP
ini bisa diadaptasi. Yang terpenting dalam SOP ini adalah prinsip berpihak pada korban,” jelas Nita.
Modul juga menjabarkan alur penanganan kasus, mulai dari pengaduan, investigasi internal, sampai
akhirnya jatuh pada putusan akhir. Modul juga menekankan pada pendampingan psikologis yang perlu
dilakukan perusahaan media bagi korban.
Sebagai tindak lanjut dari diseminasi hasil riset, modul dan SOP ini, AMSI membuka kesempatan bagi
perusahaan media terpilih untuk mendapatkan pendampingan dalam menyusun SOP Pencegahan dan
Penanganan KBGO sesuai kapasitas media tersebut.
Kesempatan ini hanya terbuka bagi media anggota
AMSI.
Hasil Riset Menilik Kebijakan dan Pengalaman Kesetaraan Gender serta Kekerasan Berbasis Gender di
Perusahaan Media dapat diakses di https://amsi.or.id/dokumen/riset
Modul dan SOP Pencegahan dan Penanganan KBGO untuk Perusahaan Media dapat diakses di
https://amsi.or.id/dokumen
AMSI juga berkolaborasi dengan SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi),
FJPI (Forum Jurnalis Perempuan Indonesia), serta Konde.co dan Magdalene.co dalam menyusun “Modul
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) untuk Jurnalis dan Pekerja
Media”, dapat diakses di https://amsi.or.id/dokumen.
(*)