Jakarta, pasbana- Aksi boikot terhadap produk-produk terafiliasi Israel kembali gencar disuarakan. Belakangan, aksi ini kembali menguat sebagai respons masyarakat atas upaya okupansi dan agresi Israel ke wilayah Palestina sejak Oktober 2023.
Data terakhir dari Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS) menyebut bahwa dari 7 Oktober 2023 hingga 22 Agustus 2024, sebanyak 40 ribu warga dinyatakan tewas, dan 93,7 ribu warga Palestina terluka akibat agresi Israel.
Tak terkecuali di Indonesia, sebagai negara yang punya kedekatan historis dan emosional yang erat, masyarakat di Indonesia juga melayangkan solidaritasnya kepada Palestina lewat aksi boikot ini.
Dipaparkan oleh Manajer GoodStats Iip M. Aditya, hasil survei GoodStats pada Juli 2024 menunjukkan bahwa 70,2% responden di Indonesia mendukung aksi boikot produk terafiliasi Israel. Tak cuma mendukung, sebanyak 77,2% responden bahkan menyatakan sedang melakukan pemboikotan ini.
Dede Syarif, sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, memandang tingginya dukungan publik Indonesia terhadap aksi boikot produk terafiliasi Israel hari-hari ini tak terlepas dari kehadiran media sosial sebagai katalisator atau penyampai isu.
“Media sosial memiliki peran strategis sebagai katalisator, yang mempercepat penyebaran dan diseminasi isu, sehingga awareness publik terhadap isu boikot ini cukup tinggi,” tutur Dede.
Selain itu, adanya kesamaan isu dan kesadaran politik di masyarakat Indonesia, juga dinilai jadi faktor pendorong yang melatarbelakangi kuatnya aksi ini.
Hal ini tergambar dalam hasil survei GoodStats, yang menunjukkan bahwa alasan utama masyarakat Indonesia melakukan aksi boikot yakni sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina (68,1%) dan ingin ikut memberikan tekanan kepada Israel (55,3%).
Dede pun memberi contoh bagaimana aksi boikot yang berakar dari gerakan Boycott, Divestment, and Sanction (BDS) terhadap entitas-entitas terafiliasi Israel ini juga menyebar di sejumlah negara besar yang bukan negara muslim, menunjukkan bahwa isu kemanusiaan memang menjadi isu utama yang berkembang dalam aksi ini.
Meski tidak berdampak secara langsung pada penurunan atau penghentian serangan/agresi Israel terhadap Palestina, menurut Dede, aksi boikot menjadi gerakan yang mampu menekan perusahaan yang terafiliasi Israel agar mengubah haluan politiknya.
“Tujuannya tidak langsung menghentikan agresi, tapi memengaruhi perusahaan untuk mengalihkan kebijakan politik maupun dukungannya kepada Israel,” terangnya.
Dampak yang paling nyata dari masifnya aksi boikot ini, adalah penurunan performa perusahaan. Beberapa perusahaan besar yang diduga terafiliasi Israel melaporkan penurunan laba cukup dalam di tahun ini, tak lain imbas aksi boikot oleh masyarakat.
“Efek penurunan penjualan sangat jelas, karena di Indonesia konsumen sangat banyak”, kata Algooth Putranto, praktisi branding.
Survei GoodStats menangkap bahwa produk makanan dan minuman jadi jenis produk yang paling disasar dalam aksi boikot di Indonesia, dengan dipilih oleh 81,5% responden, diikuti produk pakaian dan aksesoris sebanyak 33,3% responden, serta produk kecantikan dan kesehatan sebanyak 31,7% responden.
Menanggapi ini, Algooth mengonfirmasi bahwa sejumlah brand yang bergerak di lini bisnis tersebut mengalami kontraksi laba, bahkan ada yang berimbas pada kemunduran jajaran direksinya.
Di sisi lain, pro dan kontra juga muncul lantaran ditengarai ada beberapa brand yang jadi “korban” salah sasaran dalam aksi boikot.
Adapun terkait kriteria produk, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang “Prioritas Penggunaan Produk dalam Negeri” yang di dalamnya juga berisi panduan kriteria bagi masyarakat muslim dalam menentukan produk-produk mana yang dikategorikan terafiliasi Israel.
Dalam hal ini MUI menetapkan bahwa suatu produk dikategorikan terafiliasi Israel salah satunya jika saham mayoritas dan pengendali perusahaan dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki afiliasi jelas dengan Israel.
Sebaliknya, menurut fatwa tersebut, suatu produk layak didukung jika dimiliki sepenuhnya oleh perusahaan/individu Indonesia, atau perusahaan publik yang saham mayoritasnya dimiliki perusahaan /individu Indonesia.
Menurut Algooth, isu boikot saat ini memang masih menjadi kajian para praktisi branding, karena fenomenanya yang cenderung dinamis.
“Sangat dinamis, praktisi branding masih di fase trial & error, perusahaan ada yang berhasil ada yang gagal,” ujarnya.
Namun, ia mengidentifikasi, setidaknya ada beberapa elemen penting yang bisa menentukan ketahanan brand di tengah masifnya aksi boikot ini.
“Ketahanan brand tergantung sejauh mana perusahaan mampu menyesuaikan, berinovasi, berani menggeser segmen, dan yang terpenting mampu mengelola internal mereka,” kata Algooth.
GoodStats menyelenggarakan sesi diskusi terbuka bertajuk “Mengupas Sikap Masyarakat terhadap Boikot Produk Terafiliasi Israel” secara daring melalui platform Zoom Meeting pada Jumat (23/8/2024).
Sesi diskusi ini merupakan tindak lanjut dari perilisan hasil survei GoodStats: “Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Aksi Boikot Produk Terafiliasi Israel” yang dilaksanakan pada Juli 2024.(rilis)