Notification

×

Iklan

Iklan

Emas Minangkabau: Kisah Dari Tanah yang Kaya akan Harta Terpendam

26 Agustus 2024 | 09:10 WIB Last Updated 2024-08-26T02:10:33Z



Pasbana - Di balik hijaunya perbukitan Minangkabau, cerita tentang emas yang berkilauan di tanah Sumatra terbentang, menarik perhatian banyak pihak, dari penambang lokal hingga pedagang besar. Di abad ke-19, wilayah ini dikenal sebagai "negeri emas," dan bukan tanpa alasan. 

Bahkan, William Marsden dalam catatannya di The History of Sumatera (1811) menuliskan bahwa Padang, ibukota yang terletak di pesisir barat Sumatra, menerima lebih dari 10 ribu ons emas dari tambang-tambang yang tersembunyi di balik rimbunnya hutan pedalaman.

Di tengah keriuhan aktivitas perdagangan di Padang, lebih dari seribu tambang emas tersebar di seluruh wilayah Minangkabau. Masyarakat lokal, yang telah mengenal nilai emas selama berabad-abad, bekerja keras dengan alat-alat sederhana seperti dulang, cangkul, dan ijuk untuk mengekstraksi emas dari batuan kuarsa dan pasir sungai. Di bawah sinar matahari yang menyengat, mereka menggali tanah, mencuci bebatuan, dan berharap menemukan "amas-urai" – butiran emas kecil yang berkilauan di antara butiran pasir.

Namun, tidak semua emas ditemukan dalam bentuk butiran. Di pedalaman, para penambang juga mengenal "amas-supayang," bongkahan besar kuarsa yang menyimpan urat emas signifikan di dalamnya, serta "amas-sungei-abu," emas murni yang terbentuk dalam bongkahan besar. Mereka tidak hanya menambang emas, tetapi juga mengolahnya menjadi perhiasan indah yang dipakai dalam upacara adat atau sebagai simbol status dalam masyarakat.

Ketertarikan terhadap emas Minangkabau tidak hanya datang dari masyarakat lokal. Pada tahun 1666, VOC mulai menaruh perhatian serius pada potensi tambang emas di wilayah ini. Mereka membangun markas di Padang dengan tujuan untuk memonopoli perdagangan emas dan lada dari pedalaman. Pada tahun 1670, VOC bahkan berinvestasi besar-besaran dalam teknologi penambangan Eropa di Salido, sebuah tambang yang sebelumnya hanya diusahakan oleh pribumi.

Hasilnya cukup menggembirakan di awal, dengan emas dan perak senilai 10 ribu gulden dikirim ke Batavia pada tahun 1675. Namun, mimpi VOC untuk menguasai emas Minangkabau segera menghadapi kenyataan yang lebih keras. Biaya produksi yang tinggi dan fluktuasi hasil tambang membuat tambang Salido ditinggalkan pada tahun 1696. 

Seiring berjalannya waktu, VOC terus mencoba peruntungannya, bahkan berencana untuk membuka kembali tambang ini pada tahun 1720. Meski upaya ini berulang kali gagal, keinginan untuk menggali kekayaan Minangkabau tetap hidup.

Di abad ke-18, emas dari Minangkabau menjadi salah satu harta yang paling dicari, bukan hanya oleh VOC, tetapi juga oleh banyak pihak lainnya. Beberapa tambang emas yang belum diketahui VOC berada di daerah-daerah seperti Tanah Datar, Pasaman, Solok, dan Sungai Pagu. Kawasan ini bahkan mendapatkan julukan "sariboe tiga ratoes tambang" karena kekayaan emasnya yang melimpah.

Meski era keemasan ini berangsur pudar di abad ke-19, warisan dari masa-masa itu masih terpatri dalam sejarah Minangkabau. Emas mungkin tidak lagi menjadi primadona seperti dahulu, namun cerita tentang "negeri emas" ini akan selalu dikenang sebagai bagian dari kekayaan budaya dan sejarah Sumatra yang tak ternilai. Makin tahu Indonesia.
(budi)
×
Kaba Nan Baru Update