Notification

×

Iklan

Iklan

Kerajaan Jambulipo: Misteri Sejarah dan Warisan Budaya Megalitikum

15 September 2024 | 13:40 WIB Last Updated 2024-09-15T06:40:40Z
Makam Raja Alam Jambulipo


Pasbana - Kerajaan Jambulipo, salah satu kerajaan tertua di Minangkabau, memiliki sejarah yang masih diselimuti misteri. Hingga kini, belum ada catatan resmi yang mengungkapkan kapan kerajaan ini berdiri atau siapa raja pendirinya. Namun, kepercayaan lokal menyebutkan bahwa Jambulipo telah ada sejak zaman Dharmasraya di abad ke-11. Ini didukung oleh mamangan adat Minangkabau yang berbunyi, _"Babatang ka Pagaruyung, batangkai ka Bukik Gombak, batampuak ka Jambulipo."_ 

Dalam pepatah ini, Kerajaan Pagaruyung dianalogikan sebagai batang pohon, Bukit Gombak sebagai tangkai, dan Jambulipo sebagai pucuknya, menggambarkan betapa pentingnya posisi Jambulipo dalam struktur adat.

Sejarawan dan budayawan terkenal Minangkabau, A.R. Chaniago, juga mendukung gagasan ini, meskipun bukti yang ada lebih bersifat etnografis dan berasal dari sejarah lisan.

Kepemimpinan Tiga Raja: Rajo Tigo Selo


Kerajaan Jambulipo tidak dipimpin oleh satu raja, melainkan tiga raja yang disebut Rajo Tigo Selo. Mereka adalah:

1. Rajo Ibadat: Pemimpin dalam urusan agama.
2. Rajo Adat: Pemimpin dalam adat dan budaya.
3. Rajo Alam: Pemimpin tertinggi yang menguasai seluruh wilayah.

Dengan wilayah yang mencakup tiga kabupaten di Sumatera Barat—Kabupaten Sijunjung, Dharmasraya, dan Solok Selatan—Kerajaan Jambulipo berpusat di Nagari Lubuk Tarok, Sijunjung. Hingga kini, wilayah ini masih menyimpan berbagai warisan sejarah, seperti Istano Kalambu Suto dan Senjata Pusaka Pedang Jenawi.

Makam Raja Alam Jambulipo I-V: Jejak Kemegahan Masa Lalu


Salah satu peninggalan paling menarik dari Kerajaan Jambulipo adalah kompleks makam Raja Alam Jambulipo I-V yang terletak di puncak Bukit Jambulipo, Nagari Latang, Kecamatan Lubuk Tarok. Bukit ini berdiri di ketinggian 300 meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan yang cukup menantang, sekitar 60°. 

Untuk mencapai puncak bukit ini, pengunjung harus menyeberangi Sungai Batang Sibakur dan mendaki bukit, sebuah perjalanan yang tidak hanya memerlukan tenaga, tetapi juga membawa kita semakin dekat dengan sejarah masa lampau.

Setiap makam di kompleks ini memiliki ciri khas unik, baik dari segi orientasi maupun bentuk nisannya. Misalnya, makam Raja Alam Jambulipo I memiliki orientasi nisan yang menghadap ke barat, berbeda dengan makam-makam lainnya yang berorientasi utara-selatan. Hal ini menarik karena dalam tradisi Islam, makam biasanya diarahkan ke kiblat.

Bentuk nisannya pun bervariasi, mulai dari nisan berundak yang disebut Dungku-Dangka, hingga nisan menyerupai menhir, peninggalan khas budaya megalitik. Ini menunjukkan pengaruh kuat budaya megalitik pada masyarakat Minangkabau, bahkan hingga masa Islam.

Pengaruh Budaya Megalitik: Jejak Leluhur yang Abadi


Budaya megalitik, yang dikenal dengan bangunan besar dari batu untuk pemujaan leluhur, tampaknya masih mempengaruhi masyarakat Jambulipo hingga kini. Konsep bangunan berundak yang terlihat di kompleks makam Raja Alam sangat mirip dengan punden berundak—struktur bertingkat yang sering digunakan dalam pemujaan leluhur. Tradisi ini juga terlihat di berbagai tempat lain di Indonesia, seperti Candi Borobudur dan kompleks pemakaman raja di Imogiri.

Menariknya, makam-makam Raja Alam Jambulipo juga dikelilingi oleh dua sungai, yaitu Sungai Batang Sibakur di utara dan Sungai Palintangan di selatan, yang mungkin mencerminkan keyakinan masyarakat bahwa tempat pemakaman yang tinggi dan dikelilingi oleh air memberikan kesakralan tersendiri.


Tradisi Bakawua: Menghormati Leluhur dan Merawat Keberkahan


Setiap dua kali dalam setahun, masyarakat di Kerajaan Jambulipo melaksanakan Upacara Bakawua, sebuah tradisi yang dilakukan sebelum dan sesudah panen padi. Acara ini merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah, sekaligus bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah membangun peradaban Jambulipo. Tradisi ini dihadiri oleh Rajo Tigo Selo, pemerintah setempat, dan bahkan para raja dan sultan dari seluruh Nusantara.

Pada hari kedua upacara, masyarakat bersama-sama mengunjungi makam Raja Alam Jambulipo I untuk makan bersama dan berdoa. Ritual ini dipercaya membawa keberkahan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Salah satu bagian menarik dari upacara ini adalah pembagian uweh, yaitu ramuan obat tradisional yang diyakini mampu melindungi sawah dari hama serta menyembuhkan penyakit pada manusia. Uweh dipersiapkan dengan mantra dan doa khusus, dan kemudian dibagikan kepada masyarakat untuk digunakan di ladang mereka.

Pentingnya Melestarikan Warisan Budaya


Makam Raja Alam Jambulipo I-V bukan hanya sekadar situs sejarah, tetapi juga bagian penting dari budaya dan kepercayaan masyarakat Jambulipo. Sebagai situs cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010, situs ini harus terus dijaga agar generasi mendatang bisa memahami nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya.

Warisan ini tidak hanya menghubungkan kita dengan masa lalu, tetapi juga mengajarkan tentang pentingnya menghormati leluhur dan menjaga tradisi sebagai bagian dari identitas budaya. Makin tahu Indonesia. [Budi]

PILKADA 50 KOTA




×
Kaba Nan Baru Update