Pasbana - Desa Padang Laweh, sebuah desa yang kental dengan adat dan tradisi Minangkabau, memiliki berbagai upacara adat yang menarik perhatian, salah satunya adalah Malam Bainai. Upacara ini merupakan salah satu ritual yang dilakukan menjelang pernikahan, khususnya bagi calon mempelai wanita, atau yang dikenal sebagai anak daro.
Secara tradisional, Malam Bainai bertujuan untuk memerahkan kuku pengantin wanita menggunakan daun inai yang telah dilumatkan. Inai, atau yang dikenal sebagai pacar merah dalam istilah lokal, tidak hanya sekadar penghias, tetapi juga dipercaya sebagai simbol perlindungan bagi calon pengantin dari bahaya dan hal-hal buruk. Sebagaimana diungkapkan dalam buku Musyair Zainuddin (2013: 20), tradisi ini sudah ada sejak lama dan menjadi bagian penting dalam rangkaian pernikahan adat Minangkabau.
Namun, seiring berjalannya waktu, makna filosofis dari Malam Bainai mulai pudar, dan banyak masyarakat yang hanya melihatnya sebagai acara estetika semata. Beberapa menganggap prosesi ini hanyalah momen untuk mempercantik kuku calon pengantin wanita tanpa memahami nilai-nilai adat yang terkandung di dalamnya. Hal ini cukup memprihatinkan, terutama ketika melihat bahwa di Desa Padang Laweh, Kota Batusangkar, masih banyak orang yang tidak mengetahui esensi dari upacara tersebut.
Keunikan dan Makna Simbolis
Ritual Malam Bainai bukan sekadar pemolesan kecantikan. Ada makna mendalam di baliknya. Filosofi Minangkabau sangat menghargai kelangsungan hidup yang baik dan selaras dengan nilai-nilai adat. Dalam pepatah adat Minang disebutkan, “Karajo baiak indak elok di palalaikan, kok malang ditimpo dek nan buruak”, yang artinya pekerjaan baik jangan ditunda, jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan. Hal ini mencerminkan urgensi dalam melangsungkan prosesi pernikahan segera setelah pertunangan, yang ditandai dengan prosesi bainai.
Selain sebagai simbol perlindungan, bainai juga menjadi momen yang memperlihatkan bahwa seorang wanita telah resmi bertunangan. Tanda ini, yang terlihat pada kuku tangan dan kaki yang memerah, menjadi penanda bagi sanak saudara dan teman-teman bahwa wanita tersebut telah terikat dalam pertunangan. Tradisi ini juga menjadi simbol peralihan status dari seorang gadis menjadi calon istri yang siap menjalani kehidupan baru.
Pergeseran Nilai di Zaman Modern
Meskipun nilai-nilai luhur tersimpan dalam prosesi Malam Bainai, kenyataannya, tidak semua masyarakat di Sumatera Barat mempercayai makna tersebut sepenuhnya. Zaman modern yang serba praktis membuat prosesi ini mulai dipandang sebagai bagian dari estetika semata. Bahkan, beberapa orang menganggapnya sebagai acara yang tak lebih dari hiasan sebelum ijab kabul berlangsung keesokan harinya.
Di era saat ini, banyak pasangan yang memilih untuk melaksanakan prosesi pernikahan secara lebih sederhana dan praktis. Ini berdampak pada keberagaman cara pelaksanaan Malam Bainai. Ada yang masih menjaga dengan ketat tradisi turun-temurun, namun ada pula yang melakukannya dengan adaptasi modern yang mungkin melenceng dari makna aslinya.
Terkadang, ada tumpang tindih antara yang seharusnya dilakukan dan yang dijalankan. Perbedaan pendapat dalam pelaksanaan membuat upacara ini kadang terasa kurang terstruktur dan terlepas dari esensi aslinya.
Menghidupkan Kembali Warisan Budaya
Untuk menjaga tradisi ini tetap hidup, perlu ada pemahaman yang lebih mendalam mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Malam Bainai. Edukasi terhadap masyarakat, terutama generasi muda, sangat penting agar tradisi ini tidak hanya menjadi formalitas yang kehilangan ruh. Malam Bainai bisa menjadi salah satu warisan budaya yang tidak hanya memperindah secara fisik, tetapi juga memperkuat ikatan spiritual dan adat.
Dengan pengetahuan yang lebih luas tentang sejarah dan filosofi Malam Bainai, masyarakat dapat kembali menghidupkan dan menghargai warisan budaya ini sebagai bagian penting dari perjalanan hidup menuju pernikahan, menjadikan setiap prosesi tidak hanya indah di mata, tetapi juga bermakna di hati. Makin tahu Indonesia. (Budi)