Notification

×

Iklan

Iklan

Surau: Jejak Sejarah, Tradisi, dan Tantangan Modernitas di Ranah Minangkabau

30 September 2024 | 14:49 WIB Last Updated 2024-09-30T07:50:56Z


Pasbana - Di tengah lanskap adat dan agama yang kuat di Minangkabau, Surau pernah menjadi pusat pendidikan sekaligus penyebaran nilai-nilai budaya dan agama Islam. Fungsi Surau dalam masyarakat Minangkabau bukan sekadar tempat ibadah, melainkan sebuah institusi yang menjadi fondasi dalam pembentukan karakter generasi muda. 

Seiring perkembangan zaman, fungsi ini mengalami pergeseran signifikan, meninggalkan jejak sejarah yang kini menghadapi tantangan untuk tetap relevan.


Sejarah dan Fungsi Surau di Masa Lalu


Pada masa lalu, Surau berperan sebagai institusi pendidikan pertama di Minangkabau, tempat belajar yang bukan hanya mengajarkan ajaran agama, tetapi juga nilai-nilai adat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Seorang Buya atau Inyiak Surau, figur sentral di Surau, bukan sekadar ahli agama, namun juga pemegang kearifan lokal. 

Mereka mengajarkan adat Minangkabau, yang dikenal dengan filosofi "Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah"—adat bersandar pada syariat, dan syariat bersandar pada kitab suci Al-Qur'an.

Surau juga menjadi tempat berkumpul para pemuda untuk kegiatan-kegiatan positif. Di sinilah proses transformasi budaya terjadi, di mana adat-istiadat dan agama saling bersinergi dalam membentuk jati diri generasi muda Minangkabau.


Surau di Era Modern: Pergeseran Fungsi


Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa Surau tidak lagi memainkan peran selengkap dulu. Fungsinya semakin terbatas sebagai tempat shalat dan belajar baca tulis Al-Qur'an dengan metode modern. Tradisi belajar adat dan budaya di Surau mulai pudar seiring kemajuan zaman dan berkembangnya institusi pendidikan formal yang menawarkan fasilitas lebih lengkap dan mewah.

Generasi muda kini lebih memilih sekolah modern, yang meski menawarkan kemajuan intelektual, cenderung melupakan warisan budaya lokal.



Pemerintah melalui program Baliak ka Nagari, yang merujuk pada Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2000, berusaha mengembalikan fungsi Surau sebagai pusat pembinaan karakter, mental, dan pengetahuan generasi muda. Namun, upaya ini masih menghadapi tantangan besar dari perkembangan modernisasi, kapitalisme, serta perubahan gaya hidup yang lebih individualistik dan materialistik.

Surau di Rantau: Upaya Mempertahankan Tradisi


Menariknya, upaya mempertahankan tradisi Surau tidak hanya terjadi di tanah Minangkabau, tetapi juga di perantauan. Di Bengkulu, para perantau Minang, yang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri, dan wiraswasta, mendirikan Surau sebagai jawaban atas kegelisahan mereka terhadap krisis identitas yang dialami generasi muda Minang di tanah rantau.




Surau ini berdiri dengan filosofi yang sama: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, serta Alam Takambang Jadi Guru—sebuah konsep yang mengajarkan untuk memahami fenomena alam sebagai sumber pengetahuan. 

Dengan landasan ini, mereka berupaya mempertahankan nilai-nilai adat dan agama, meskipun berada jauh dari kampung halaman. Surau di rantau ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai wadah pembinaan karakter dan identitas kultural bagi generasi muda Minang.

Tantangan dan Masa Depan Surau


Keinginan untuk mempertahankan tradisi Surau jelas merupakan upaya yang patut diacungi jempol. Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Masyarakat modern saat ini lebih didominasi oleh paham materialistik dan individualistik, yang menjauhkan generasi muda dari nilai-nilai kolektivitas dan komunal yang diajarkan di Surau. 

Selain itu, sistem pendidikan formal yang lebih mengutamakan mata pelajaran umum sering kali melupakan pelajaran budaya dan tradisi lokal.




Kurikulum muatan lokal, seperti Budaya Alam Minangkabau (BAM), yang diajarkan di sekolah-sekolah pun hanya menekankan aspek kognitif tanpa melibatkan pendekatan holistik seperti yang dilakukan di Surau pada masa lalu. Padahal, pengajaran di Surau bukan sekadar mengasah intelektual, tetapi juga membentuk mental dan spiritual berdasarkan nilai-nilai agama dan adat.

Refleksi dan Harapan


Di tengah tantangan globalisasi dan modernisasi, Surau tetap menjadi simbol identitas budaya Minangkabau. Upaya untuk mengembalikan fungsi Surau tidak hanya di tanah Minang, tetapi juga di rantau, menunjukkan bahwa tradisi ini masih memiliki tempat dalam hati masyarakat Minangkabau. Namun, keberhasilan dalam mempertahankan tradisi Surau membutuhkan komitmen bersama dari berbagai pihak, baik pemerintah, tokoh adat, maupun masyarakat.

Surau, dengan segala kekayaan nilai-nilai budaya dan agama yang dikandungnya, masih memiliki potensi besar untuk menjadi tempat pembinaan karakter dan identitas generasi muda Minangkabau. Dengan revitalisasi yang tepat, Surau dapat kembali menjadi benteng moral dan budaya yang kokoh di tengah arus modernitas. Makin tahu Indonesia.(budi)

IKLAN

 

×
Kaba Nan Baru Update