Foto ilustrasi. |
Pasbana - Siapa yang tidak kenal Fakih Sagir? Seorang ulama yang tak hanya dikenal karena pengetahuannya mendalam tentang fikih—ilmu hukum Islam—tapi juga karena perannya dalam salah satu gerakan besar di Sumatera Barat, yaitu Gerakan Padri. Sejak kecil, ia dikenal dengan nama Jalaluddin, namun seiring bertambahnya ilmu dan kedewasaannya, ia diberi gelar Fakih Sagir.
Gelar "fakih" bukan sembarang gelar, itu diberikan kepada seseorang yang sudah ahli dalam hukum Islam, menunjukkan pengakuan masyarakat terhadap keilmuannya.
Menariknya, di akhir hidupnya, Fakih Sagir juga dikenal dengan gelar Tuanku Samik, gelar yang menandakan status dan pengaruhnya di masyarakat. Dalam salah satu karyanya yang berjudul Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin, ia memperkenalkan dirinya sebagai Fakih Saghir `Alamiyat Tuanku Samiang Syekh Jalaluddin Ahmad Kota Tuho.
Saksi Mata Gerakan Padri
Bagi peneliti sejarah, Fakih Sagir adalah sosok penting. Dia salah satu dari dua pribumi yang menulis catatan tentang Gerakan Padri, gerakan reformasi Islam yang mengguncang Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Satu lagi catatan pribumi berasal dari Tuanku Imam Bonjol yang mendokumentasikan perjalanannya hingga diasingkan ke Manado.
Mayoritas sumber sejarah lainnya tentang Gerakan Padri ditulis oleh pihak Belanda, yang seringkali tidak memahami secara utuh situasi budaya lokal. Oleh karena itu, catatan Fakih Sagir sangat berharga, karena ia adalah saksi mata yang terlibat langsung dalam pergolakan tersebut.
Lewat tulisannya, Fakih Sagir tak hanya membantu masyarakat Sumatera Barat memahami perjuangan para pendahulunya, tapi juga menjadi referensi penting bagi para peneliti dari luar negeri. Fakih Sagir menawarkan perspektif lokal yang langka dan otentik, berbeda dengan sudut pandang penjajah yang seringkali memiliki bias.
Persahabatan yang Berubah Menjadi Pertentangan
Namun, perjalanan hidup Fakih Sagir tidak selalu mulus. Ia adalah menantu dari Tuanku Koto Tuo, salah satu pemimpin besar dalam Gerakan Padri, dan teman seperguruan dari Nan Renceh, sosok lainnya yang berpengaruh. Keduanya sama-sama belajar fikih di Masjid Kota Hambalau, Nagari Candung. Pada awalnya, mereka sepakat untuk menegakkan ajaran Islam, tetapi hubungan mereka tak selalu sejalan.
Perselisihan pun terjadi, dan Nan Renceh, yang dulunya sahabat Fakih Sagir, berubah menjadi lawan. Bahkan, Nan Renceh sempat menuduh Fakih telah "keluar dari Islam" saking kecewanya dengan perbedaan pandangan yang muncul di antara mereka. Sungguh, ini adalah contoh bahwa konflik ideologi bisa mengubah sahabat menjadi rival.
Pendirian Madrasah dan Cobaan Fitnah
Setelah perpisahan tersebut, Fakih Sagir memilih jalannya sendiri. Ia mendirikan madrasah di Kubu Sanang, Sungai Pua, Agam. Meskipun hanya bermula dengan empat murid, ia perlahan-lahan membangun komunitas yang lebih besar. Namun, perjuangannya tidak mudah. Fitnah membuat madrasahnya dibakar, meninggalkan luka dalam perjuangan pendidikannya.
Meskipun demikian, Fakih tetap berdiri teguh, melanjutkan perjuangannya untuk menyebarkan ajaran Islam dan menulis sejarahnya sendiri. Karyanya yang menceritakan tentang asal mula Gerakan Padri, pergolakannya, hingga kematian Tuanku Koto Tuo, menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang.
Fakih Sagir dan Jejaknya di Sejarah
Kisah Fakih Sagir bukan hanya kisah tentang seorang ulama yang berkonflik dengan teman seperguruannya. Ini adalah kisah tentang keteguhan hati, perjuangan intelektual, dan keberanian untuk bertahan meskipun menghadapi berbagai tantangan.
Lewat tulisan-tulisannya, ia mengabadikan salah satu periode penting dalam sejarah Sumatera Barat, memberikan kita semua pelajaran berharga tentang arti kesetiaan pada prinsip dan komitmen terhadap ilmu pengetahuan.(*/bd)