Pasbana - Minangkabau, salah satu etnis terbesar di Sumatera Barat, terkenal dengan keunikan sistem sosial dan budayanya yang kaya. Namun, di balik keindahan adat istiadat yang dijunjung tinggi, ada sebuah fenomena menarik yang sering kali jarang dibahas, yaitu dualisme dalam masyarakatnya. Apa itu dualisme, dan bagaimana hal ini memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau?
Pada dasarnya, masyarakat Minangkabau dibagi menjadi dua aliran utama, yaitu Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago.
Sekilas, kedua aliran ini mungkin tampak seperti bagian dari sejarah, tetapi sejatinya mereka masih berperan besar dalam menentukan arah kebijakan dan kehidupan sosial di sana.
Dua Aliran yang Berbeda, Satu Akar Budaya
Lareh Koto Piliang yang dibawa oleh Datuak Katamenggungan dikenal sebagai sistem yang aristokratis. Dalam sistem ini, kekuasaan mengalir dari atas ke bawah, dengan hierarki yang jelas. Pepatah Minang menyebutnya "manitiak dari ateh"—segala sesuatu menetes dari atas.
Konsep ini sangat mencerminkan struktur sosial yang vertikal, di mana wewenang dipegang oleh segelintir orang yang memiliki kedudukan tinggi.
Di sisi lain, Lareh Bodi Caniago yang dikembangkan oleh Datuak Perpatih Nan Sabatang membawa nilai-nilai yang lebih demokratis. Pepatahnya "mambusek dari bumi"—segala sesuatu muncul dari bawah. Artinya, kekuasaan bersifat horizontal, lebih egaliter, dan keputusan diambil bersama oleh komunitas. Inilah yang sering disebut sebagai semangat gotong royong dan musyawarah khas Minang.
Meskipun kedua aliran ini tampak berbeda, ada satu hal yang menyatukan mereka: adat. Adat Minangkabau memiliki daya lentur yang luar biasa. Pepatah "sawah gadang satampang baniah, makanan luhak nan tigo, baragiah indak bacaraian" menggambarkan bahwa meskipun berbeda, masyarakat Minang tetap bersatu dan saling memberi tanpa perpecahan.
Keharmonisan di Tengah Perbedaan
Seperti banyak masyarakat lainnya, Minangkabau tidak terlepas dari dualisme—konsep yang mencerminkan adanya dua sisi yang saling bertolak belakang. Di Minangkabau, dualisme ini tampak jelas dalam dua pepatah yang sering digunakan, yaitu "duduak samo randah, tagak samo tinggi" yang mencerminkan sifat demokratis, dan "bajanjang naik, batanggo turun" yang menunjukkan sifat aristokratis.
Keduanya menggambarkan perbedaan pandangan tentang kekuasaan dan kepemimpinan, tetapi yang menarik adalah bagaimana keduanya mampu hidup berdampingan dengan harmonis.
Dalam kehidupan sehari-hari, oposisi antara dua aliran ini menciptakan dinamika yang kaya dan penuh warna. Meskipun ada perbedaan dalam cara pandang, masyarakat Minangkabau tetap mampu menjaga keseimbangan antara keduanya.
Bahkan, dinamika ini dianggap sebagai kekuatan tersendiri yang menciptakan keseimbangan dalam kehidupan sosial mereka. Seperti pepatah Minang yang menyatakan, "sakali aia gadang, sakali tapian barubah", yang berarti setiap kali ada perubahan besar, selalu ada penyesuaian yang mengikuti.
Perubahan yang Terus Berulang
Meskipun banyak yang melihat perbedaan antara kedua aliran ini sebagai bagian dari perubahan sosial, sebenarnya fenomena ini cenderung berulang. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada perubahan, nilai-nilai dasar yang mengikat masyarakat Minangkabau tetap kokoh. Pandangan ini sejalan dengan teori Levi-Strauss tentang "transformasi", yang menyatakan bahwa masyarakat selalu mengalami perubahan, tetapi pola-pola dasar yang mendasari perubahan tersebut cenderung tetap.
Peneliti seperti Mestika Zed telah mengungkapkan bahwa untuk memahami masyarakat Minangkabau, kita tidak bisa hanya menggunakan pendekatan budaya. Lebih dari itu, diperlukan analisis struktural untuk melihat bagaimana elemen-elemen dalam masyarakat saling berhubungan dan memengaruhi kehidupan sosial mereka.
Inilah yang membuat kajian tentang Minangkabau menjadi sangat menarik, karena ada banyak lapisan kompleksitas yang perlu dipahami.
Menjaga Tradisi di Era Modern
Di tengah arus modernisasi yang semakin kuat, masyarakat Minangkabau tetap mempertahankan dualisme ini sebagai bagian dari identitas mereka. Meskipun zaman telah berubah, nilai-nilai tradisional seperti "bajanjang naik, batanggo turun" dan "duduak samo randah, tagak samo tinggi" masih relevan dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan, di era globalisasi ini, banyak orang Minangkabau yang tinggal di luar Sumatera Barat tetap merujuk pada adat sebagai pedoman hidup mereka.
Kesimpulannya, dualisme dalam masyarakat Minangkabau bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, tetapi justru menjadi bagian penting dari identitas mereka. Di balik perbedaan pandangan antara Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago, ada harmoni yang indah dan dinamis yang terus hidup hingga hari ini. Makin tahu Indonesia.(Budi)