Foto. Makam Haji Miskin di Pandai Sikek, Tanah Datar |
Pasbana - Di akhir abad ke-18, Makkah bergolak dengan kemunculan ajaran Muhammad Abdul Ibnu Wahab, seorang ulama yang menyerukan kembalinya umat Islam kepada Tauhid dan Sunnah Rasulullah. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai Wahabi, sebuah reformasi besar yang menentang praktik-praktik seperti pemujaan orang keramat, minum khamar, hingga pemakaian perhiasan emas.
Ajaran ini tidak hanya mengguncang Makkah, tetapi juga membawa dampak besar bagi Minangkabau, khususnya melalui tiga haji: Haji Miskin, Haji Abdur Rahman, dan Haji Muhammad Arif.
Ketiganya, yang sedang menimba ilmu di Makkah pada masa itu, tertarik dengan semangat pembaruan yang diusung Wahabi. Sepulangnya ke tanah air, mereka pun bertekad untuk menerapkan ajaran tersebut di kampung halaman masing-masing, yang akhirnya melahirkan gerakan pembaruan Islam di Minangkabau.
Haji Miskin: Sang Pelopor yang Kontroversial
Di antara ketiga tokoh ini, Haji Miskin merupakan sosok paling dikenal. Lahir di Pandai Sikek pada tahun 1778, ia sejak muda sudah memiliki semangat melawan kemungkaran. Setelah pulang dari Makkah, Haji Miskin memulai gerakannya dengan menerapkan ajaran Wahabi di kampung halamannya.
Namun, tidak semua lapisan masyarakat dapat menerima perubahan tersebut. Ketegangan ini mencapai puncaknya ketika Haji Miskin membakar balai adat yang baru dibangun di Pandai Sikek, tindakan yang kemudian membuatnya melarikan diri ke Koto Laweh dan berlindung di bawah perlindungan Tuanku Mensiangan.
Dukungan dari Tuanku Mensiangan memberi Haji Miskin kesempatan untuk membangun kekuatan, dan pengikutnya mulai bertambah, terutama dari kelompok ulama yang sudah lebih dulu menyebarkan ajaran Islam. Salah satu tokoh kunci yang turut membantu perjuangannya adalah Fakih Sagir, seorang ulama berpengaruh yang madrasahnya dibakar oleh kelompok penentang ajaran baru.
Namun, perjalanan Haji Miskin penuh dengan tantangan. Di Nagari Aia Tabik, Haji Miskin berhasil menggugah ulama-ulama muda untuk mendukungnya, tetapi tidak semua upayanya berhasil mulus. Perlawanan dari Kaum Adat semakin kuat, hingga akhirnya pecahlah konflik besar di Minangkabau.
Dalam salah satu pertempuran yang sengit, Haji Miskin tewas terbunuh pada tahun 1811 dan dimakamkan di Bukit Kawi. Namun, keberadaannya tetap menjadi misteri karena terdapat makam lain yang diklaim sebagai makamnya di Pandai Sikek.
Haji Abdur Rahman dan Haji Muhammad Arif: Dua Haji yang Tak Terlupakan
Berbeda dengan Haji Miskin yang namanya terus dikenang melalui berbagai institusi di Pandai Sikek, seperti pondok pesantren dan bank rakyat (BPR Syariah), catatan tentang Haji Abdur Rahman dan Haji Muhammad Arif lebih sedikit. Haji Abdur Rahman dari Piobang dan Haji Muhammad Arif dari Sumani, meski tidak sepopuler Haji Miskin, tetap dihormati sebagai bagian dari tiga haji yang membawa perubahan besar di Minangkabau.
Khususnya di Piobang, ajaran yang dibawa Haji Abdur Rahman lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat, berbeda dengan konflik yang terjadi di Pandai Sikek. Sedangkan Haji Muhammad Arif, meski berasal dari nagari kecil Sumani, juga berperan dalam menggerakkan masyarakat lokal untuk menerima ajaran baru tersebut.
Warisan Pembaruan yang Tak Pernah Pudar
Meski ketiganya menghadapi tantangan besar, nama mereka tetap abadi dalam sejarah Minangkabau. Sebagai bagian dari kelompok yang dikenal sebagai “Harimau Nan Salapan,” mereka dianggap sebagai pelopor pembaruan Islam di wilayah ini. Perjuangan mereka tidak hanya terbatas pada ajaran agama, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan ekonomi, terutama melalui penerapan hukum perdagangan Islam.
Perubahan yang mereka usung memang menggegerkan Minangkabau, namun pada akhirnya, ajaran mereka berhasil menancapkan akar yang dalam di masyarakat. Meskipun beberapa metode mereka kontroversial, seperti tindakan pembakaran balai adat oleh Haji Miskin, warisan yang mereka tinggalkan tetap hidup dan menjadi bagian penting dalam sejarah Minangkabau hingga saat ini.(budi)