Notification

×

Iklan

Iklan

Tuanku Koto Tuo: Sang Pelindung Pedagang dan Pembaharu dari Tanah Agam

16 Oktober 2024 | 11:36 WIB Last Updated 2024-10-16T04:36:23Z

Makam Tuanku Koto Tuo di Balai Gurah, IV Angkat (Dok.
BPCB Sumbar)

Pasbana - Di tanah Cangkiang, Kabupaten Agam, berdirilah sebuah makam yang sunyi namun penuh sejarah. Makam itu milik seorang tokoh agama legendaris, Tuanku Koto Tuo, seorang ulama besar yang dikenal sebagai pelindung masyarakat dan pembaharu di masanya. Tak banyak yang tahu persis kapan ia lahir atau apa nama kecilnya, namun pengaruhnya hingga kini masih terasa, terutama di Perguruan Koto Tuo yang didirikannya.

Sebuah Perguruan yang Melahirkan Para Pemimpin


Tuanku Koto Tuo adalah seorang ulama besar yang memimpin ribuan murid. Perguruannya dikenal luas sebagai pusat pembelajaran agama dan pembaruan. Dari sanalah lahir para ulama dan pemimpin gerakan yang memainkan peran penting dalam membentuk tatanan sosial masyarakat kala itu. Namun, tak hanya mengajarkan agama, Tuanku Koto Tuo juga menyadari adanya perubahan besar dalam kehidupan masyarakat yang mengkhawatirkannya.

Kehidupan di nagari-nagari mulai menyimpang dari ajaran agama. Sabung ayam, perkelahian di pasar, hingga perampokan terhadap petani dan pedagang seakan menjadi pemandangan sehari-hari. Para penghulu, datuk, bahkan pemimpin adat seolah kehilangan kendali. Dalam kegelisahan itulah, Tuanku Koto Tuo mulai memikirkan cara untuk membawa masyarakat kembali ke jalan yang benar.

Menyendiri untuk Mencari Jawaban


Sebagai murid dari Syekh Burhanuddin Ulakan, Tuanku Koto Tuo awalnya mengikuti jejak gurunya dengan menjalani ritual-ritual spiritual seperti bersuluk. Dalam ritual ini, ia menghabiskan waktu berjam-jam berzikir dalam surau, jauh dari keramaian. Ada yang mengatakan bahwa dalam keheningannya, jiwanya seakan berziarah ke Makkah. Namun, lama-kelamaan, ia merasa cara ini tidak cukup untuk memperbaiki kondisi masyarakat.

Melihat semakin parahnya kerusakan sosial, ia pun berpikir bahwa metode spiritual semata tidak lagi efektif. "Bukan hanya dengan zikir, tapi masyarakat butuh tindakan nyata," pikirnya. Bersama murid-muridnya, seperti Jalaluddin atau yang dikenal sebagai Tuanku Samik, ia mulai bergerak melawan ketidakadilan sosial yang merajalela.

Perjuangan Melawan Ketidakadilan


Salah satu langkah pertamanya adalah menutup tempat-tempat sabung ayam dan menghancurkan tempat-tempat perjudian serta candu. Para perampok yang mengganggu ketenangan petani dan pedagang dihadapi dengan berani. Murid-muridnya, yang juga mahir bersilat, menjadi garda terdepan dalam melindungi masyarakat dari kejahatan. 

Namun, perjuangannya tidak berjalan mulus. Banyak yang menolak pembaruannya, bahkan di antara murid-muridnya sendiri. Salah satunya adalah Tuanku Nan Renceh, yang memiliki pandangan berbeda dalam menghadapi masalah. 

Jika Nan Renceh lebih condong ke jalur kekerasan, Tuanku Koto Tuo justru memilih jalan damai. "Jika masih ada seorang muslim di suatu nagari, tempat itu harus dilindungi," tegasnya. Prinsip ini membuatnya menolak untuk memimpin langsung upaya pembaruan yang lebih keras, meskipun sikap itu mengecewakan sebagian pihak.

Menghadapi Tantangan dan Pengorbanan


Keputusannya untuk bekerja sama dengan Belanda demi terciptanya kedamaian di nagari membuat banyak ulama Padri marah. Perguruannya diserang, dan dalam insiden itu, anaknya tewas. Namun, Tuanku Koto Tuo tetap teguh dengan prinsipnya: "Kekerasan bukan jalan yang akan saya tempuh." Bahkan hingga akhir hidupnya pada tahun 1824, ia tetap berpegang pada pendirian ini.

Dalam wasiat terakhirnya, Tuanku Koto Tuo meminta muridnya, Jalaluddin, untuk melanjutkan perjuangannya mendirikan agama Allah dan sunnah Rasulullah dengan sebenar-benarnya, tanpa dendam. Sebuah pesan yang penuh kebijaksanaan, mengajarkan bahwa kebaikan dan perdamaian harus selalu diutamakan, bahkan dalam keadaan yang paling sulit sekalipun.

Warisan yang Abadi


Makam Tuanku Koto Tuo di Balai Gurah, IV Angkat, mungkin tampak sederhana, tapi warisan pemikirannya tentang perdamaian, keadilan, dan pembaruan tetap abadi. Hingga hari ini, cerita tentang Tuanku Koto Tuo masih menginspirasi banyak orang, khususnya dalam menjalani kehidupan yang adil dan penuh tanggung jawab.

Dengan segala tantangan yang ia hadapi, Tuanku Koto Tuo telah membuktikan bahwa perbaikan masyarakat tidak hanya bisa dicapai melalui kekuatan fisik, tetapi dengan kekuatan moral dan kesabaran yang luar biasa. Sebuah pelajaran yang relevan bagi siapa saja yang ingin membawa perubahan di tengah dunia yang terus berubah.(*/bd)

PILKADA 50 KOTA




×
Kaba Nan Baru Update