Notification

×

Iklan

Iklan

Kenangan Masa Sekolah: Disiplin Keras dan Nilai Adab dari Para Guru

02 November 2024 | 07:06 WIB Last Updated 2024-11-02T00:18:38Z



Pasbana - Bagi sebagian dari kita, kenangan masa sekolah tak sekadar soal buku dan pelajaran. Di era ketika kedisiplinan diterapkan dengan keras, banyak yang punya kisah serupa—mengenai jeweran di telinga, cubitan di lengan, hingga berdiri satu kaki di depan kelas sebagai bentuk peringatan. 

Mungkin terdengar mengerikan bagi generasi saat ini, tetapi dulu, bagi sebagian murid, semua itu justru menjadi kenangan yang membekas, bahkan dirindukan.

Di tengah zaman yang serba modern ini, mengingat kembali masa-masa itu bisa membuat kita tersenyum. Ketika melihat foto-foto jadul saat berseragam sekolah, atau wajah-wajah muda para guru yang dulu begitu galak, rasanya ada rasa syukur terselip di sana. 

Karena berkat disiplin keras mereka, kita tumbuh dengan paham bahwa pendidikan bukan hanya soal kecerdasan, tetapi juga soal karakter.

Didikan dengan Sentuhan Keras


Para guru saat itu tak segan-segan mengambil langkah tegas demi menanamkan adab. Ketika ada murid yang datang terlambat, tugas tak dikerjakan, atau rambutnya terlalu panjang, hukuman langsung menanti. 

Hukuman-hukuman kecil inilah yang membuat kita sadar akan pentingnya kedisiplinan. Mungkin bagi sebagian orang terasa kasar, namun bagi murid yang mengalami, itu adalah bentuk perhatian dari para guru.

Pernah, dalam sebuah obrolan ringan dengan seorang teman lama, saya mendengar petuah yang sangat berkesan, "Kalau kita belum bisa memberi manfaat bagi orang lain, setidaknya jangan sampai merugikan orang lain, apalagi keluarga atau kerabat.

Petuah sederhana yang dulu diajarkan guru-guru dengan cara mereka, melalui teguran dan disiplin.

Adab Lebih Penting dari Ilmu


Dalam pandangan guru-guru kita dulu, adab itu lebih penting daripada ilmu. Mereka yakin, seseorang yang berilmu tanpa adab malah bisa menciptakan kerusakan. 

Sebaliknya, walau ilmunya tak tinggi, orang beradab akan menjaga diri dari hal-hal yang merugikan orang lain. Dari mereka, kami belajar bahwa sikap baik adalah landasan dari setiap ilmu yang kami pelajari.

Kini, mungkin sebagian guru-guru tercinta itu telah menua, atau mungkin sebagian sudah berpulang. Namun, nilai-nilai yang mereka tanamkan tetap hidup dalam diri setiap murid yang mereka didik. 

Rasa syukur yang mendalam terukir di hati, seraya mendoakan semoga Allah memberi tempat terbaik bagi mereka yang telah mendidik kami dengan penuh ketulusan.

Semoga kisah-kisah ini menginspirasi kita semua, mengingatkan bahwa pendidikan tak hanya soal angka di rapor, tetapi tentang bagaimana membangun karakter. 

Untuk para guru yang tak pernah lelah mendidik, kami haturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga. (Budi - Anak Sekolah 90 an
×
Kaba Nan Baru Update