Notification

×

Iklan

Iklan

Lamang Siarang, Kue Tradisional dari Nagari Sariak Alahan Tigo

01 November 2024 | 15:11 WIB Last Updated 2024-11-01T08:18:21Z




Pasbana - Ketika bicara tentang Sumatera Barat, kebanyakan orang mungkin langsung terbayang rendang yang terkenal mendunia. Tapi, Sumatera Barat bukan hanya soal rendang! Ada banyak makanan tradisional lain yang juga punya keunikan dan rasa khas, salah satunya adalah "Lamang Siarang" dari Nagari Sariak Alahan Tigo, Kabupaten Solok. 

Lamang Siarang ini bukan hanya sekadar kue; ia adalah bagian dari budaya yang kaya akan tradisi dan nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Keunikan Lamang Siarang


Lamang Siarang berbeda dari lamang pada umumnya yang sering kita temui di Minangkabau. Terbuat dari beras ketan hitam, kue ini melalui proses yang cukup panjang dan rumit. Pertama, ketan hitam direndam semalaman, lalu ditumbuk halus menjadi tepung. Tepung ini kemudian dicampur dengan kelapa sangrai dan gula merah, lalu dimasukkan ke dalam bambu yang disebut "talang." 

Selanjutnya, bambu ini dibakar selama sekitar lima jam—tanpa daun pisang!—menciptakan aroma dan tekstur khas yang membuat lamang siarang berbeda dari lamang-lamang lainnya.




Menurut Ibu Yalni Fawirna, seorang pembuat lamang siarang di Sariak Alahan Tigo, “Proses pembuatannya memang agak rumit, makanya lamang ini sudah jarang ditemukan. Dibutuhkan kesabaran, dan biasanya hanya ibu-ibu tua saja yang memahami cara membuatnya.” Ibu Yalni menekankan bahwa menjaga tradisi ini adalah bentuk penghormatan kepada leluhur, terutama dalam acara-acara penting.


Sebuah Ritual yang Sarat Makna


Bagi masyarakat Sariak Alahan Tigo, lamang siarang memiliki makna spiritual yang mendalam. Kue ini tidak sembarang dibuat atau disajikan; hanya pada acara khusus, seperti perayaan 100 hari kematian, menyambut Ramadhan, pernikahan, atau hari raya. Dalam sebuah pernikahan, misalnya, keluarga mempelai pria akan meminta lamang siarang sebagai simbol untuk menghormati leluhur dari keluarga mempelai wanita.

Dalam acara 100 hari kematian, lamang ini diyakini memiliki makna spiritual sebagai simbol tongkat bagi yang telah meninggal dunia, yang bisa menjadi "pegangan" bagi arwah dalam perjalanan ke alam baka. Begitu besar nilai budaya dan spiritualnya, namun sayangnya, generasi muda mulai menjauhi tradisi ini.


Lamang Siarang: Di Ambang Kepunahan?


Globalisasi dan modernisasi membuat masyarakat lebih tertarik pada makanan cepat saji dan kue-kue ala Barat seperti cake atau pastry. Ini menyebabkan kue tradisional seperti lamang siarang mulai jarang terlihat di pasaran, bahkan di desa-desa. “Banyak anak muda yang belum tahu apa itu lamang siarang,” kata Ibu Nurida, seorang anggota PKK setempat. 

“Proses pembuatannya lama dan sulit, jadi peminatnya sedikit. Padahal, dahulu lamang ini dikenal dengan sebutan ‘lamang itam’ atau ‘lamang tapuang.’ Karena namanya kurang dikenal, kami mengubahnya menjadi ‘lamang siarang’ agar terlihat unik.”


Kini, tradisi membuat lamang siarang perlahan memudar, terutama karena hanya segelintir orang tua yang masih tahu cara membuatnya. Tanpa regenerasi, lamang siarang bisa saja lenyap seiring waktu. Akan sangat disayangkan jika kue khas ini tidak lagi ada, sebab lamang siarang adalah salah satu kekayaan kuliner Indonesia yang patut dipertahankan.

Menjaga Tradisi untuk Masa Depan


Melestarikan lamang siarang bukan hanya soal mempertahankan sebuah makanan, tetapi juga merawat warisan budaya yang penuh makna. Ini adalah tantangan bagi generasi muda di Sariak Alahan Tigo dan di Sumatera Barat pada umumnya untuk terus mengenal, memahami, dan meneruskan tradisi membuat kue ini. Dengan terus mengenalkan lamang siarang di acara-acara budaya dan melalui platform media sosial, siapa tahu lamang siarang bisa kembali diminati?

Semoga suatu hari nanti, lamang siarang tidak hanya sekadar hidangan di acara-acara tradisional, tetapi juga menjadi kebanggaan dan identitas kuliner Sumatera Barat yang terus lestari.Makin tahu Indonesia. (budi)
×
Kaba Nan Baru Update