Pasaman, Pasbana - Di Nagari Simpang Tonang, berdirilah rumah gadang megah milik Suku Nasution, seakan menjadi saksi bisu perjalanan panjang leluhur mereka.
Konon, perjalanan ini diawali ketika masyarakat Mandailing dari Pidoli, Mandailing Godang, mengungsi akibat konflik. Mereka dipimpin oleh Rajo Gumanti Porang, seorang pemimpin dengan gagasan besar yang pada akhirnya memilih Simpang Tonang sebagai tanah rantau.
Perjalanan yang mereka tempuh tidaklah mudah. Dipimpin oleh seorang tokoh pemberani bernama Dubalang Sirah Dado, mereka menelusuri bukit, lembah, dan sungai.
Hingga akhirnya, di suatu tempat yang tenang dan strategis di antara dua sungai, mereka merasa "di rumah". Nama Simpang Tonang pun muncul, merujuk pada ketenangan aliran air yang mereka temukan di sana.
Simpang Tonang: Bukan Sekadar Nama
Bagi masyarakat Simpang Tonang, adat adalah nafas. Kehidupan mereka berpusat pada adat "salingka nagari," yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan kekerabatan. Nagari ini dihuni oleh empat suku utama: Nasution, Mais, Lubis, dan Batubara.
Keempat suku ini, dalam tradisi setempat disebut "Induak nan Barampek", adalah pilar penegak nagari. Setiap suku memiliki peran unik dalam pemerintahan adat, dari memegang urusan pemerintahan hingga menjaga ritual keagamaan dan adat.
Rumah Gadang: Warisan dan Ikon
Rumah gadang Suku Nasution di Simpang Tonang bukan hanya rumah biasa. Ia adalah representasi warisan dan identitas Mandailing yang telah menyatu dengan adat Minangkabau.
Berarsitektur khas dengan atap bergonjong lancip, rumah gadang ini menggambarkan semangat masyarakat yang berakar pada persatuan dan gotong royong.
Menurut Sutan Bandaharo, salah satu sesepuh setempat, "Rumah gadang ini menjadi simbol kekerabatan dan tempat bernaung. Di sini kami mengenang perjalanan leluhur kami yang penuh perjuangan," ujarnya penuh haru. Rumah gadang ini sering menjadi tempat berkumpulnya masyarakat untuk berbagai acara adat, mulai dari alek (perayaan) hingga musyawarah penting.
Etnis Mandailing dalam Adat Minangkabau
Walau masyarakat Nagari Simpang Tonang berasal dari Mandailing, mereka tetap memegang teguh adat Minangkabau. Di nagari ini, adat istiadat yang berlaku telah diadaptasi, sehingga para pendatang Mandailing ini bisa berbaur dan menjadi bagian dari Minangkabau.
Mereka bahkan memiliki "adat salingka nagari" yang mencerminkan nilai-nilai kekerabatan dan kehidupan komunal yang kental.
Menurut catatan sejarah lokal yang disebut tarombo, asal-usul suku Nasution dan suku-suku lainnya di Simpang Tonang menunjukkan bahwa masyarakat di sini memiliki akar yang dalam dan kaya akan budaya Mandailing.
Tarombo tersebut ditulis dalam bahasa campuran—Mandailing, Minangkabau, dan Bahasa Indonesia—menggunakan gaya lama yang menunjukkan betapa berharganya warisan ini bagi mereka.
Harmoni dalam Keberagaman
Nagari Simpang Tonang hari ini menjadi simbol hidup harmonis dalam keberagaman. Dengan pandam pakuburan, tanah ulayat, dan pasar yang menjadi pusat ekonomi, masyarakat di sini menjalani hidup mereka dengan penuh kebanggaan.
Rumah gadang Suku Nasution tak hanya sekadar tempat tinggal, melainkan juga lambang identitas dan warisan budaya yang selalu mereka jaga dan rawat bersama.
Nagari ini adalah bukti bahwa perbedaan suku dan adat bisa menyatu dalam harmoni, menghasilkan budaya unik yang kaya akan sejarah, nilai kekerabatan, dan rasa kebersamaan. Makin tahu Indonesia.(bd)