Oleh: Wahyu Pramanda, S.Pd
Ketum PC IMM Kota Padang Panjang
Padang Panjang, pasbana -- Pemilihan kepala daerah 2024 sudah semakin dekat. Hanya menyisakan lebih kurang waktu dua pekan lagi. Pemilihan walikota dan wakil walikota menjadi hal yang dinantikan oleh seluruh masyarakat Padangpanjang untuk menentukan siapa kepala daerahnya untuk lima tahun mendatang. Pesta demokrasi lima tahunan ini semakin menarik karena bertambahnya peserta pemilu dari `kelompok usia pemilih muda, yaitu generasi Z dan milenial.
Hal ini juga sesuai dengan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) kota Padang Panjang menunjukkan bahwa dari 44.322 pemilih terdaftar, 4324 di antaranya adalah Generasi Z berusia 17-20 tahun. Sementara usia milenial 21-25 tahun ada sekitar 5478 orang. Pemilih dengan usia 26-40 tahun ada sekitar 14180 jiwa. Hasil ini jelas menunjukkan bahwa suara Generasi Z akan memainkan peran yang signifikan dalam menentukan arah politik di kota Padang Panjang.
Dengan jumlah tersebut menunjukkan bahwa Gen Z dan milenial memiliki potensi untuk membentuk perubahan serta memberikan kontribusi positif dalam pengambilan keputusan di kota Padang Panjang. Pilkada juga mampu menjadi ajang untuk mereka menunjukkan peran yang semakin berpengaruh, menggugah antusiasme, dan menyuarakan isu-isu politik. Partisipasi mereka dapat memengaruhi arah kebijakan dan isu-isu yang diangkat dalam masyarakat.
Disamping itu, dengan jumlah mereka yang banyak tentu akan menjadikan mereka sebagai target kampanye bagi kandidat yang berkontestasi dalam pilkada tahun ini. Kalangan generasi Z dinilai intelektual dan melek teknologi, sehingga para calon kepala daerah dan tim suksesnya harus punya cara khusus untuk memikat mereka. Salah satu metode yang dinilai efektif adalah turun langsung ke masyarakat. Namun, metode ini juga rentan akan praktik politik uang atau money politic.
Di kota Padang Panjang sendiri, fenomena politik uang menjadi hal yang telah mendarah daging dan juga menjadi budaya buruk yang turun temurun, hal ini terjadi tidak terlepas dari pembiasaan ataupun adanya stigma normalisasi dari masyarakat, yang bahkan mengatakan bahwasannya, politik uang adalah hal yang wajar, dan merupakan hak rakyat untuk menerima, dan terlepas memilih calon yang bersangkutan itu adalah urusan belakangan.
Politik Uang sendiri sebetulnya merupakan bentuk ketidaksiapan para calon pemimpin yang tidak punya jiwa kepemimpinan, yang tidak bisa bersaing secara sehat dengan beradu argumentasi dan juga memberikan program-program yang masuk akal kepada masyarakat, khusunya kepada generasi muda namun mereka hanyalah orang-orang yang ingin maju karena hanya punya modal uang saja, untuk membeli suara rakyat, yang merupakan hak yang tidak bisa di perjualbelikan dengan uang yang tak seberapa.
Terjadinya fenomena Politik Uang ini, juga menggambarkan bahwasannya, bagaimana peran insan generasi Z dan Milenial yang hanya menyibukkan dirinya sendiri dengan pengetahuannya sendiri, sehingga mulai muncul ketimpangan antara orang terpelajar dan orang yang awam terhadap perpolitikan. Peran penting ini harus diambil alih oleh para kaum terpelajar, kaum generasi Z dan Milenial, agar bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat awam, untuk bisa mensosialisasikan bagaimana bahayanya Politik Uang ini, untuk keberlangsungan kota Padang Panjang kedepannya.
Kemudian, untuk fenomena Politik Uang yang telah terjadi, sebagai generasi Z dan Milenial tidak bisa saling menyalahkan satu sama lain, dikarenakan ini hal yang harus menjadi bahan evaluasi tersendiri bagi masyarakat yang memiliki kewajiban untuk memberantas secara tuntas fenomena Politik Uang ini, dan hal ini pula juga yang menjadi PR terbesar untuk masyarakat.
Maka dari itu, atas kejadian yang telah terjadi, terkait Politik Uang ini, harus adanya gerakan sosialisasi yang tidak sekedar omon-omon saja, yang sifatnya memang merangkul dan memberikan pemahaman kepada masyarakat, bukan dengan pencitraan saja, namun dengan memberikan citra yang nyata, yang bisa membawa masyarakat awam untuk menghindari Politik Uang yang menjadi kasus besar di Padang Panjang di dalam Pileg dan Pilkada, yang telah menjadi penyakit di dalam batang tubuh demokrasi kota Padang Panjang ini.
Kemudian, yang terpenting adalah bagaimana seleksi yang seharusnya dilakukan oleh pelaksana Pemilu, agar bisa menyeleksi para calon yang memang kompeten, bukan hanya sekedar bermodalkan uang saja, dan juga peran penting para insan terpelajar untuk bisa saling merangkul masyarakat awam yang menjadi target empuk oleh para oknum pelaku Politik Uang, serta kepada masyarakat umum yang harus saling bahu membahu untuk menolak secara tegas adanya Politik Uang, yang harus menjadi pemantau keberlangsungan Pemilu selanjutnya.
Apakah kita boleh pesimis dengan hal itu? Tentu saja jawabannya tidak. Sebagai Gen Z dan milenial kita dinilai memiliki kecenderungan untuk memberikan kontribusi nyata dengan menolak politik uang tersebut. Kemudahan dalam akses ruang digital dengan mengkampanyekan anto politik uang akan memengaruhi opini publik terhadap calon mana saja yang berusaha memainkan politik uang.
Generasi Z dan Milenial mesti menjadi generasi yang rasional. Memilih kepala daerah yang memiliki gagasan serta ide yang bermanfaat bagi masyarakat. Bukan karena faktor uang dan sebaran politik uangnya.
Generasi Z mesti mampu menunjukkan bahwa meskipun politik uang masih ada, banyak pemilih muda yang telah memiliki pemahaman yang baik mengenai risiko dari praktik tersebut, sebagian besar berkat kemudahan akses informasi melalui internet tentunya.
Mari kita tekankan kepada calon kepala daerah bahwa suara Gen Z tidak bisa dibeli. Oleh karena itu, siapa pun calon kepala daerah harus menggunakan pendekatan politik rasional. Apalagi untuk saat ini pun, Gen Z semakin kritis terhadap politik dan lebih memilih untuk memperjuangkan isu-isu sosial seperti hak asasi manusia, lingkungan, dan kesetaraan gender, serta memanfaatkan media sosial sebagai platform untuk mengekspresikan pendapat mereka.
Semoga dengan begitu kota yang kita cintai bisa terbebas dari praktik-praktik korup yang dimulai dengan politik uangnya.(*)