Oleh: M. Jamil S.Ag Labai Sampono
Pengurus LKAAM Sumbar dan Penulis Buku "Minang"
PASBANA — Di tengah upaya pelestarian adat Minangkabau, berbagai persoalan yang menghambat kemajuan adat Salingka Nagari masih menjadi sorotan. Banyak perilaku menyimpang dari nilai-nilai adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK), sementara para pelaku adat dinilai semakin kehilangan pengaruh dan peran strategisnya. Kritik terhadap kemunduran adat kerap diarahkan kepada para pemuka adat yang dianggap tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Setidaknya terdapat tujuh faktor utama yang menghambat kemajuan adat di tengah kehidupan sosial masyarakat Minangkabau. Jika tidak segera diatasi, gejala kemunduran adat ini dikhawatirkan akan semakin meluas dan berdampak buruk pada generasi berikutnya.
1. Gelar Pemuka Adat Hanya Sebatas Prestise, Bukan Prestasi
Banyak gelar adat yang kini dianggap sekadar simbol status tanpa makna substansial. Gelar yang seharusnya menjadi simbol tanggung jawab dan kewibawaan kini hanya dijadikan kebanggaan pribadi.
Bahkan, tidak sedikit pemuka adat yang tidak mengamalkan nilai-nilai adat dan kehilangan adab. Lebih parahnya, nasihat dari pihak lain sering kali tidak dianggap penting, seolah-olah kedudukan mereka tidak boleh dikritik.
2. Perasaan "Lebih Tinggi" di Kalangan Pemuka Adat
Rasa superioritas kerap muncul di kalangan pemuka adat. Mereka merasa terganggu atau tersinggung ketika diberi nasihat. Kondisi ini berpotensi memicu konflik internal, terutama ketika seorang pemuka adat mengadu kepada kaum kerabatnya bahwa dirinya telah "direndahkan".
Fenomena ini menyebabkan hubungan antar generasi dan sesama pemuka adat menjadi renggang.
3. Dendam Warisan Leluhur yang Masih Membelenggu
Dendam yang diwariskan dari leluhur menjadi penghalang bagi terciptanya harmoni sosial. Perselisihan yang terjadi di masa lalu kadang dilanjutkan oleh generasi berikutnya, bahkan diwariskan kepada kemenakan. Ada keluarga yang dilarang menikah hanya karena konflik lama antarsuku. Dendam semacam ini tidak hanya menciptakan jurang permusuhan, tetapi juga menghambat integrasi sosial di nagari.
4. Gelar Adat yang Tidak Sesuai dengan Kepribadian Pemegangnya
Filosofi gelar adat seharusnya selaras dengan karakter pemegangnya. Contoh, gelar "Pakiah" diberikan kepada seseorang yang faqih dalam ilmu agama, sementara gelar "Sutan" bermakna simbol kebijaksanaan seorang pemimpin. Namun, dalam praktiknya, banyak gelar adat yang diberikan tanpa mempertimbangkan kapasitas dan karakter penerimanya. Hal ini mengakibatkan sosok pemegang gelar tidak mampu menjalankan peran yang sesuai dengan gelar tersebut.
5. Tidak Ada Pembekalan untuk Calon Pemuka Adat
Pepatah Minangkabau berbunyi "Karambia tumbuah di mato, batuang timbuh di buku" yang berarti segala sesuatu terjadi tiba-tiba tanpa persiapan. Begitulah kondisi regenerasi pemuka adat saat ini. Seseorang tiba-tiba diangkat menjadi pemuka adat tanpa dibekali pemahaman dan keterampilan yang memadai.
Tidak jarang gelar adat diwariskan secara mendadak, tanpa proses pembekalan dan pembinaan. Ini menyebabkan banyak pemuka adat tidak siap secara mental maupun intelektual untuk memimpin kaum.
6. Tidak Dijalankannya Kriteria Pemimpin Adat yang Sah
Seorang pemuka adat sejatinya harus memenuhi sejumlah kriteria kepemimpinan. Namun, dalam praktiknya, kriteria ini kerap diabaikan. Yang terjadi, ada pemuka adat yang diangkat hanya karena faktor keturunan atau tekanan keluarga.
Akibatnya, banyak pemimpin adat yang tidak mampu berfungsi secara optimal, bahkan cenderung pasif dalam menghadapi persoalan nagari.
7. Minimnya Pendidikan dan Regenerasi Pemuka Adat
Regenerasi pemuka adat masih menjadi pekerjaan rumah besar di lingkungan nagari. Tidak ada upaya serius untuk menyiapkan generasi muda agar mewarisi nilai-nilai adat dan syarak. Jika tidak ada musyawarah adat di nagari, jangan harap adat ini akan lestari.
Saat ini, tidak banyak pelatihan atau pembekalan yang diberikan kepada generasi muda untuk mempersiapkan mereka sebagai penerus pemuka adat. Akibatnya, anak muda mulai menjauh dari adat dan nilai-nilai budaya Minangkabau.
Solusi dan Langkah Ke Depan
Mengatasi tujuh penghambat tersebut memerlukan langkah-langkah konkret. Jamil mengusulkan perlunya musyawarah besar (mubes) adat di setiap nagari sebagai upaya revitalisasi adat. Jika mubes adat tidak digelar, maka adat akan semakin ditinggalkan generasi berikutnya.
Selain itu, penguatan pendidikan adat bagi generasi muda sangat penting. Menurut Jamil, perlu ada program pembekalan, pendidikan, dan pelatihan intensif bagi calon pemuka adat. Proses regenerasi harus melibatkan orang-orang yang memiliki kapasitas dan integritas agar bisa meneruskan tonggak kepemimpinan adat di nagari.
Adat Minangkabau, yang berlandaskan falsafah ABS-SBK, menghadapi tantangan besar akibat pengabaian nilai-nilai adat oleh pemuka adat sendiri.
Tujuh faktor penghambat yang disebutkan di atas menjadi penyebab utama kemunduran adat di nagari. Tanpa pembenahan serius, generasi muda dikhawatirkan semakin jauh dari nilai-nilai adat.
Revitalisasi adat melalui musyawarah adat dan regenerasi pemuka adat yang terarah diharapkan dapat menjadi solusi untuk melestarikan budaya Minangkabau di tengah perubahan zaman.(*)