Pasbana - Sejarah Nusantara selalu menyimpan cerita yang penuh intrik dan daya tarik. Salah satunya adalah kisah hubungan antara Pariaman di Pesisir Barat Sumatra dengan Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-16.
Tidak banyak yang tahu, Pariaman pernah menjadi bagian penting dari kekuasaan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al-Qahhar (1537–1571), salah satu penguasa terkuat Aceh.
Pariaman, Sentra Lada dan Jalur Perdagangan Dunia
Pada masa itu, Pariaman adalah salah satu wilayah strategis Kesultanan Aceh di Pesisir Barat Minangkabau. Dengan hasil bumi berupa lada yang melimpah, Pariaman menjadi pusat perdagangan internasional.Lada dari Pariaman tidak hanya memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga diekspor ke India, Tiongkok, hingga Eropa. Bayangkan, bagaimana pedasnya lada Pariaman memberi rasa pada masakan-masakan di belahan dunia lain!
Hamka, dalam kitabnya Bustanus Salatin, menegaskan bahwa hubungan “nyata” antara Kesultanan Aceh dan Pariaman dimulai pada masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar.
Kesultanan Aceh, yang kala itu menjadi kekuatan maritim dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, menjadikan Pariaman salah satu titik penting dalam jaringan perdagangan global mereka.
Awal Mula: Intrik Keluarga Kerajaan
Namun, hubungan antara Aceh dan Pariaman ini tidak semata soal perdagangan. Menariknya, kisah ini juga menyimpan drama keluarga kerajaan. Menurut naskah lokal Minangkabau, Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau, konflik bermula ketika Raja Dewang Sari Deowano dari Pagaruyung menceraikan Putri Ratna Kemala, adik Sultan Aceh, dengan cara yang tidak sopan.Alkisah, sang putri kerap menagih utang kepada Raja Alam Pagaruyung, utang yang sebenarnya berasal dari pesta pernikahan mereka di Aceh. Hutang ini digunakan untuk memberi hadiah kepada para pembesar dan masyarakat Aceh.
Tak terima dengan perlakuan ini, Sultan Aceh akhirnya melibatkan diri, yang berujung pada penguasaan Pariaman dan daerah sekitarnya oleh Kesultanan Aceh sekitar tahun 1524–1528.
Dominasi Aceh di Pesisir Barat
Pengaruh Kesultanan Aceh di Pariaman dan wilayah Pesisir Barat lainnya berlangsung cukup lama. Aceh memegang kendali hingga tahun 1668, ketika Belanda mulai mengusir kekuasaan Aceh dari wilayah tersebut.Meski masa kejayaan ini telah berlalu, jejaknya masih dapat dirasakan hingga kini, terutama dalam tradisi, budaya, dan sejarah lokal.
Warisan yang Terlupakan
Sayangnya, cerita ini sering luput dari perhatian. Padahal, ini adalah bagian penting dari sejarah Nusantara yang menunjukkan betapa dinamisnya hubungan antardaerah dan kerajaan di masa lalu. Pariaman tidak hanya menjadi saksi perdagangan internasional, tetapi juga intrik politik dan keluarga kerajaan.Bagi Anda yang ingin menyusuri jejak sejarah ini, mengunjungi Pariaman bisa menjadi pengalaman yang menarik. Kota kecil ini masih menyimpan pesona budaya dan tradisi yang diwariskan dari masa lalu, lengkap dengan keramahan khas masyarakat Minangkabau. Makin tahu Indonesia. (Budi)