Pasbana - Nama Mohammad Syarif atau yang juga dikenal sebagai Arif Putera Minangkabau mungkin belum terlalu familiar di telinga masyarakat luas. Namun, perannya dalam sejarah kolonial Hindia Belanda, khususnya dalam pembentukan pasukan Marsose, tak bisa diabaikan.
Sebagai seorang tokoh yang berperan besar di balik pembentukan pasukan bayaran Hindia Belanda, Syarif menjadi sosok kontroversial yang tak lepas dari perdebatan sejarah.
Mohammad Syarif adalah seorang jaksa kepala di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), sebuah posisi penting dalam pemerintahan kolonial Belanda.
Mohammad Syarif adalah seorang jaksa kepala di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), sebuah posisi penting dalam pemerintahan kolonial Belanda.
Sebagai seorang pribumi yang bekerja untuk Belanda, ia memiliki akses dan pengaruh yang cukup besar terhadap kebijakan pemerintahan Hindia Belanda, terutama di wilayah Aceh yang saat itu tengah bergolak akibat perlawanan rakyat terhadap kolonialisme.
Tentang Pasukan Marsose
Pasukan Marsose atau Korps Marechaussee te Voet adalah unit militer khusus yang dibentuk Belanda pada 26 Oktober 1890. Berbeda dengan pasukan reguler, Marsose dirancang sebagai pasukan bayaran yang bertugas menangani perlawanan rakyat Aceh yang dikenal gigih dan sulit ditaklukkan. Mereka dilatih secara khusus untuk operasi tempur di medan berat, terutama di hutan dan pegunungan, di mana pasukan Belanda reguler sering kesulitan beradaptasi.Marsose dikenal memiliki reputasi keras dan tak jarang dikaitkan dengan kekejaman terhadap rakyat Aceh. Sebagai pasukan elite, Marsose bertanggung jawab atas operasi-operasi militer yang melibatkan taktik gerilya, pengintaian, dan penyergapan terhadap kelompok-kelompok pejuang Aceh.
Pembentukan Pasukan Marsose
Pembentukan Pasukan Marsose dimulai pada 26 Oktober 1890 atas gagasan Mohammad Syarif. Kala itu, Belanda menghadapi kesulitan besar dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh yang menguasai medan perang hutan-hutan lebat. Pasukan reguler Belanda yang terlatih dalam perang terbuka kesulitan melawan taktik gerilya yang diterapkan para pejuang Aceh.
Melihat situasi itu, Mohammad Syarif mengusulkan agar dibentuk pasukan khusus yang lebih fleksibel dan mampu bertempur di medan berat. Usul tersebut diterima oleh Gubernur Militer Belanda di Aceh.
Konsep Syarif ini kemudian diwujudkan dalam bentuk Korps Marechaussee te Voet, yang dikenal dengan sebutan Marsose. Pasukan ini direkrut dari berbagai kalangan pribumi yang dianggap memiliki keterampilan bertempur tinggi, dan mereka diberi insentif berupa bayaran lebih tinggi dibanding pasukan biasa.
Mohammad Syarif Mengusulkan Pembentukan Marsose
Sebagai jaksa kepala di Kutaraja, Syarif berada di tengah-tengah pusat konflik antara kolonial Belanda dan rakyat Aceh. Ia menyaksikan sendiri betapa sulitnya Belanda mengatasi taktik gerilya rakyat Aceh yang dipimpin oleh tokoh-tokoh kharismatik seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dien.Sebagian sejarawan menilai bahwa gagasan Syarif muncul sebagai strategi pragmatis. Sebagai pejabat pribumi yang bekerja di bawah pemerintahan Belanda, Syarif mungkin merasa perlu mencari solusi untuk meredam perlawanan Aceh guna mengamankan posisi dan pengaruhnya di pemerintahan kolonial.
Oleh sebab itu, ia mengusulkan pembentukan pasukan khusus yang berbeda dari pasukan reguler, dengan merekrut orang-orang pribumi yang memiliki kemampuan bertempur di hutan dan mampu bergerak cepat dalam unit kecil.
Peran Penting Marsose dalam Perang Aceh
Pasukan Marsose memainkan peran penting di Aceh, terutama dalam fase akhir perang Aceh (1890-an). Dengan kehadiran pasukan ini, Belanda mulai meraih kemajuan dalam upaya meredam perlawanan rakyat Aceh. Salah satu taktik yang digunakan Marsose adalah "tak-tik pengepungan dan penyergapan" yang mengincar markas-markas pejuang di pedalaman.Beberapa operasi militer besar yang dipimpin oleh Marsose berhasil melemahkan kekuatan militer Aceh. Salah satu peristiwa yang paling dikenang adalah penangkapan dan pembunuhan Teuku Umar pada 11 Februari 1899, yang dianggap sebagai pukulan telak bagi perjuangan rakyat Aceh. Pasukan Marsose juga banyak terlibat dalam penyisiran desa-desa yang dituding menjadi basis perlawanan.
Kontroversi Seputar Peran Mohammad Syarif dan Marsose
Peran Mohammad Syarif sebagai pencetus Marsose kerap menuai kontroversi. Sebagian pihak memandangnya sebagai pengkhianat yang membantu penjajah dalam memadamkan perlawanan rakyat Aceh.Namun, ada pula yang menilai tindakannya sebagai bagian dari upaya untuk bertahan dan beradaptasi dengan kekuatan kolonial yang menguasai Nusantara saat itu.
"Peran Syarif dalam pembentukan Marsose memang tidak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai pejabat kolonial," ujar sejarawan Universitas Indonesia, Dr. M. Riza Saputra. "Sebagai jaksa kepala di Kutaraja, ia tentu memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas wilayah yang menjadi pusat pemerintahan kolonial di Aceh."
Sementara itu, pasukan Marsose sendiri dikenang dengan citra negatif oleh masyarakat Aceh. Marsose kerap dianggap sebagai pasukan brutal yang bertanggung jawab atas pembantaian dan penyiksaan terhadap rakyat sipil. Kisah kekejaman Marsose tercatat dalam beberapa laporan Belanda sendiri, seperti laporan Van Heutsz, Gubernur Jenderal yang memimpin kampanye militer di Aceh.
Peran Mohammad Syarif sebagai pencetus pasukan Marsose mencatatkan namanya dalam sejarah kolonial Hindia Belanda. Sebagai seorang pejabat pribumi, ia berhasil memberikan pengaruh yang besar terhadap kebijakan militer Belanda di Aceh.
Namun, jejak sejarahnya tak lepas dari kontroversi, mengingat pasukan Marsose dikenal dengan kekerasan dan represinya terhadap rakyat Aceh.
Kisah Mohammad Syarif dan Marsose adalah pengingat bahwa sejarah tak selalu hitam-putih. Ada sisi gelap dan terang dalam setiap peran tokoh, terutama di tengah pusaran kolonialisme. Hingga kini, jejak Marsose dan peran Syarif tetap menjadi bahan kajian sejarawan dan perbincangan di kalangan masyarakat Aceh dan Minangkabau. Makin tahu Indonesia.
(Budi)
Referensi:
- Van Dijk, Cornelis. De Atjeh-oorlog. Amsterdam: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, 2007.
- Dr. M. Riza Saputra, sejarawan Universitas Indonesia, dalam diskusi sejarah nasional, 2023.