Padang, Pasbana - Pakar Hukum Kepemiluan Universitas Andalas, Dr. Khairul Fahmi menyebut Mahkamah Konstitusi tidak hanya mempertimbangkan ambang batas persentase dalam menerima gugatan Perselisihan Hasil Pilkada. Namun juga akan melihat politik uang yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).
Dalam pertimbangannya, MK akan menunda penerapan Pasal 158 UU No. 10/2016 jika hakim melihat permohonan yang diajukan pemohon memiliki bukti - bukti awal yang kuat.
Menggeser petimbangan ambang batas setelah menilai pokok masalah yang didalilkan. Kalau signifikan, MK akan mengenyampingkan pasal 158 UU Pilkada.
"Dalam beberapa putusan sebelumnya, MK pernah menggeser pertimbangan ambang batas setelah menilai pokok masalah yang didalilkan. Kalau signifikan, MK akan mengenyampingkan pasal 158 UU Pilkada. Itu akan menjadi yurispredensi dalam proses sengketa Pilkada," kata Dosen Fakultas Hukum Unand, Khairul Fahmi.
Mahkamah Konstitusi, sebut Fahmi, tidak akan melihat gugatan dengan kacamata kuda, tetapi melihat aspek gugatan secara keseluruhan.
"Jika Hakim MK melihat permohonan memiliki alasan dan bukti yang kuat, maka MK akan meneruskan ke persidangan," kata jebolan Doktoral UGM ini.
Khairul Fahmi yang sudah berkali - kali menjadi saksi ahli di perselisihan Hasil Pemilu dan Pemilihan di MK ini, mengatakan MK sebagai pintu terakhir pencari keadilan akan melakukan pembuktian dalam persidangan secara objektif dan profesional.
"Selama pemohon memiliki alasan dan bukti yang kuat dalam persidangan, tentu ini akan menjadi pertimbangan Hakim MK," tutur ahli hukum yang berkonsentrasi dalam kepemiluan ini.
Saat ini, Mahkamah Konstitusi sudah menerima 200 lebih gugatan Pilkada se Indonesia. MK akan memulai persidangan setelah melakukan proses verifikasi permohonan PHP. (BD)