Pasbana - Dalam keseharian rumah tangga miskin di Indonesia, terdapat kebiasaan yang sering menjadi sorotan: peran seorang ayah sebagai perokok aktif.
Di tengah perjuangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup, rokok justru menjadi salah satu prioritas belanja yang sulit dilepaskan.
Fenomena di Lapangan
Bayangkan seorang buruh tani dengan penghasilan Rp 100 ribu per hari. Sebelum membawa uang itu pulang untuk keluarganya, Rp 15 ribu sudah lebih dulu digunakan untuk membeli sebungkus rokok.Jenis rokok yang dipilih seringkali adalah rokok Pelos, salah satu merek termurah yang harganya sekitar Rp 15 ribu per bungkus.
Namun, apa dampaknya?
Namun, apa dampaknya?
Jika dihitung, pengeluaran untuk rokok ini mencapai 15 persen dari total pendapatan harian. Sisanya, sekitar Rp 85 ribu, harus mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga yang rata-rata berjumlah 4-5 orang (data Susenas 2024). Itu belum termasuk biaya bensin, cicilan motor, dan kebutuhan lainnya.
Dampak pada Anak-anak
Ketika ayah memilih untuk membeli rokok, kebutuhan gizi anak-anak sering kali terabaikan. Mereka kehilangan akses ke protein yang seharusnya menjadi fondasi tumbuh kembang yang sehat.Anak-anak dari keluarga ini jarang menikmati makanan bergizi seperti telur, susu, atau daging. Padahal, dengan Rp 15 ribu, keluarga bisa membeli lima butir telur bebek yang cukup untuk memenuhi kebutuhan protein sehari.
Menurut penelitian, salah alokasi anggaran di rumah tangga menjadi salah satu penyebab utama kurang gizi di Indonesia.
Sebuah disertasi pada tahun 1995 mengungkapkan bahwa perilaku kepala keluarga sangat memengaruhi pola hidup bersih dan alokasi anggaran untuk makanan bergizi. Hingga kini, tantangan ini masih relevan.
Program Makan Gratis: Solusi atau Tantangan Baru?
Pemerintah sebenarnya telah berupaya dengan meluncurkan program makan gratis untuk ibu hamil, balita, dan anak-anak usia sekolah. Program ini dirancang untuk menjawab masalah kurang gizi, terutama di kalangan keluarga miskin.Namun, ada pertanyaan besar: apakah program ini bisa benar-benar efektif tanpa menyentuh akar masalah, yaitu kebiasaan merokok?
Sebuah pendekatan baru mungkin diperlukan. Bagaimana jika program makan gratis ini bersyarat? Artinya, keluarga yang ingin mendapatkan bantuan harus menunjukkan komitmen, misalnya dengan menghentikan pembelian rokok.
Ini tidak hanya mendorong keluarga untuk lebih bertanggung jawab, tetapi juga menciptakan keseimbangan antara bantuan negara dan kesadaran rumah tangga.
Pilihan yang Harus Diambil
Jika seorang ayah berhenti merokok, anggaran Rp 450 ribu per bulan (Rp 15 ribu x 30 hari) bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain. Dengan uang itu, keluarga bisa membeli 60 ekor anak itik, yang pada gilirannya menjadi sumber protein tambahan. Ini adalah perubahan kecil yang memiliki dampak besar.Pemerintah sudah menjalankan tugasnya dengan menyediakan program makan gratis. Namun, tugas berikutnya adalah pada rumah tangga, terutama ayah sebagai kepala keluarga. Menghentikan kebiasaan merokok adalah langkah awal untuk memperbaiki kesejahteraan anak-anak mereka.
Kesadaran Baru untuk Masa Depan
Program makan gratis yang bersyarat tidak hanya memberikan manfaat langsung berupa peningkatan gizi, tetapi juga menjadi alat edukasi. Ketika keluarga sadar akan pentingnya alokasi anggaran yang tepat, generasi mendatang akan memiliki peluang lebih besar untuk hidup sehat dan produktif.Pilihannya ada di tangan mereka. Apakah akan terus membakar uang untuk rokok, atau menggunakannya untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka? Pilihan ini bukan hanya tentang angka, tetapi tentang cinta dan tanggung jawab sebagai orang tua.(suduik pasbana)