Notification

×

Iklan

Iklan

Pantun Minangkabau: Warisan Sastra yang Tak Lekang oleh Waktu

28 Januari 2025 | 08:41 WIB Last Updated 2025-01-28T01:41:27Z


Pasbana - Bagi sebagian besar generasi Minang yang pernah merasakan masa kecil di kampung halaman, tradisi berpantun menjadi kenangan manis yang sulit dilupakan. Bayangkan suasana di surau, masjid, atau lapau (warung kecil)—tempat di mana para ninik mamak dan tokoh masyarakat dengan fasihnya melantunkan pantun, memikat perhatian siapa saja yang mendengarkan.  

Pantun-pantun itu bukan sekadar rangkaian kata indah. Mereka menyelinap anggun di sela-sela percakapan, menghadirkan pesan moral, perasaan, bahkan penghormatan bagi tamu yang hadir. Setiap bait yang diucapkan mengandung harmoni kata-kata yang dipilih dengan cermat, seolah menjadi cermin kecerdasan dan kehalusan budaya Minangkabau.  

Ketika pulang kampung, banyak perantau Minang yang merasa rindu mendengar pantun-pantun itu lagi. Terutama saat acara adat, di mana tradisi ini sering kali tampil sebagai bintang utama. Seolah-olah, kata-kata yang mengalir dari mulut para ninik mamak sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari alam pikiran mereka.  


Tradisi yang Sarat Makna dan Kecerdasan

Dalam budaya Minangkabau, pantun bukan hanya seni lisan biasa. Ia adalah bentuk sastra yang menguji kecerdasan berbahasa, spontanitas, dan kemampuan menyusun makna tersembunyi dalam kata-kata. Sebagai suku yang terkenal dengan adat dan tradisinya yang kuat, Minangkabau menjadikan pantun sebagai warisan budaya yang bernilai tinggi.  

Namun, sayangnya, tradisi ini kian memudar di kalangan perantau Minang. Di tanah rantau, pantun tidak lagi menjadi bagian dari percakapan sehari-hari atau forum-forum budaya. Anak-anak muda Minang yang tumbuh di luar kampung halaman, termasuk saya sendiri, kehilangan akses langsung untuk menyerap seni ini. Bahkan dalam pertemuan organisasi kedaerahan, pantun jarang muncul sebagai bagian dari tradisi.  


Membangkitkan Kembali Tradisi Berpantun 

Padahal, pantun Minangkabau adalah warisan budaya yang layak untuk dilestarikan. Tradisi ini tidak hanya menghadirkan keindahan sastra, tetapi juga memperkuat identitas budaya. Menjaga pantun tetap hidup berarti memastikan generasi muda mengenal akar budaya mereka.  

Bagaimana caranya? Salah satunya adalah mengintegrasikan seni pantun ke dalam acara-acara budaya modern. Misalnya, kompetisi berpantun di kalangan anak muda, pelatihan khusus untuk menyusun pantun, hingga menjadikannya bagian dari kurikulum sekolah di Sumatera Barat.  

Inspirasi juga dapat diambil dari komunitas-komunitas Minang yang masih aktif melestarikan tradisi ini. Salah satu contohnya adalah Festival Pantun Minangkabau, yang diselenggarakan secara berkala untuk mempromosikan seni ini ke masyarakat luas. Selain itu, media digital dapat menjadi alat yang efektif untuk memperkenalkan pantun kepada generasi milenial dan Gen Z.  

Menghidupkan Kebanggaan Akan Identitas 

Tradisi berpantun bukan sekadar urusan nostalgia. Ia adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Dengan melibatkan generasi muda, pantun dapat hidup dan relevan dalam konteks modern. Tidak hanya mempertahankan warisan leluhur, tetapi juga memperkaya keberagaman budaya Indonesia.  

Jadi, mari bersama-sama menjaga pantun Minangkabau tetap hidup. Sebagai generasi penerus, kita punya tanggung jawab untuk merawat warisan ini dan menjadikannya kebanggaan yang terus bersinar di tengah perubahan zaman. Karena dengan pantun, kita tidak hanya merangkai kata, tetapi juga melestarikan jiwa budaya Minangkabau yang tak lekang oleh waktu.  Makin tahu Indonesia. (Budi)

IKLAN


×
Kaba Nan Baru Update