Padang Panjang, pasbana - Di sebuah sudut sederhana di Kota Padang Panjang, suara dentingan palu bertemu kulit sapi terdengar teratur. Suara itu berasal dari kedai kecil milik Arlen, seorang pengrajin berusia 61 tahun yang dengan telaten menjaga tradisi pembuatan Tarompa Datuak, sandal khas Minangkabau yang sarat makna adat dan budaya.
Bukan sekadar sandal, Tarompa Datuak adalah simbol warisan leluhur Minangkabau. Di masa lalu, sandal ini menjadi pelengkap busana adat para datuak—pemangku adat yang dihormati di setiap suku.
Arlen, penerus keempat dari tradisi ini, tak hanya menjaga keberadaan Tarompa Datuak, tetapi juga menjadikannya saksi hidup perjalanan budaya yang terus ia rawat dengan penuh cinta.
Jejak Sejarah yang Berlanjut
Tradisi pembuatan Tarompa Datuak ini bermula dari kakek Arlen, diteruskan oleh paman dan ayahnya, hingga kini diwariskan kepada dirinya. “Usaha ini adalah warisan keluarga. Saya hanya ingin memastikan tradisi ini tetap hidup,” ujar Arlen dengan nada tegas.Meski teknologi berkembang pesat, Arlen tetap setia menggunakan metode manual. Dengan alat sederhana seperti pisau, palu, dan “pangukua karambia” (parutan kelapa tradisional), ia mengolah kulit sapi menjadi sandal berkualitas tinggi.
Prosesnya rumit, mulai dari pemotongan kulit sapi hingga ukiran khas yang dibuat secara detail.
Keunikan dan Tantangan
Semua bahan yang digunakan Arlen alami. Kulit sapi yang ia dapatkan dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Silaing Bawah diproses tanpa tambahan bahan sintetis, sehingga menghasilkan sandal yang awet dan tahan air. Namun, harga bahan baku yang terus meningkat menjadi tantangan besar.“Banyak yang menjual tarompa tiruan dari luar daerah. Harganya murah, tapi kualitasnya jauh di bawah standar. Itu membuat pesanan saya menurun,” keluh Arlen.
Meski demikian, ia tetap konsisten bekerja, menghidupkan kedainya dari pukul 9 pagi hingga 5 sore setiap hari.
Bukan Sekadar Pekerjaan
Bagi Arlen, membuat Tarompa Datuak bukan hanya soal pekerjaan, tetapi juga pelipur lara. “Kalau tidak membuat tarompa, saya merasa jenuh. Ini sudah menjadi bagian dari hidup saya,” katanya sambil tersenyum.Perjalanan Arlen pun tak selalu mulus. Sebelum membuka usahanya sendiri, ia pernah bekerja dengan orang lain selama 15 tahun. Berkat bantuan dari Baznas, Arlen akhirnya mampu mandiri dan melanjutkan tradisi keluarga ini.
Mimpi untuk Masa Depan
Meski ketiga anak perempuannya belum sepenuhnya terjun ke usaha ini, Arlen tetap optimis tradisi ini akan terus berlanjut. Baginya, Tarompa Datuak bukan sekadar sandal, tetapi sebuah simbol kebanggaan. “Padang Panjang harus punya kebanggaan terhadap karya asli seperti ini. Saya ingin tradisi ini dikenal, dihargai, dan diteruskan oleh generasi mendatang,” ujarnya penuh harap.
Pesona Tarompa Datuak
Dengan harga Rp200.000 hingga Rp250.000 per pasang, Tarompa Datuak buatan Arlen telah menembus pasar di luar Sumatra Barat, seperti Batam, Batusangkar, dan bahkan Pulau Jawa. Meski tak memiliki nama usaha, banyak pelanggan yang rela datang langsung ke kedainya untuk memesan sandal yang penuh nilai sejarah ini.Tradisi ini, menurut Arlen, adalah jejak sejarah yang tak boleh hilang. Dalam setiap pasang sandal yang ia buat, ada warisan Minangkabau yang terus hidup, membawa cerita leluhur yang penuh makna.
Tarompa Datuak bukan hanya sandal. Ia adalah bukti cinta terhadap budaya, simbol adat, dan kebanggaan akan warisan Niniak Mamak yang abadi. Makin tahu Indonesia.(Nurul Azizah)