Padang, pasbana – Koordinator Pusat Aksi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sumatra Barat (SB), Rifaldi, mengungkapkan bahwa 100 hari kerja pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka telah menimbulkan kekacauan. Menurutnya, kebijakan yang diambil selama periode tersebut dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Hal ini disampaikan Rifaldi dalam aksi demonstrasi yang digelar bersama ratusan massa BEM SB di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra Barat, Selasa (18/2/2025).
"Kita bisa melihat kekacauan yang ditimbulkan Prabowo-Gibran selama 100 hari kerja. Hari ini, kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak pro-rakyat," tegas Rifaldi di tengah aksi yang bertajuk "Peringatan Darurat 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran".
Aksi ini tidak hanya menjadi bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga menuntut pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Rifaldi menilai Inpres tersebut tidak tepat sasaran, terutama dalam hal pengurangan anggaran di sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan.
"Inpres tidak tepat sasaran. Kami sepakat dengan pengurangan anggaran untuk kegiatan seremonial, tetapi tidak untuk sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan. Kami mendesak presiden memberikan pendidikan gratis dan membatalkan pengurangan anggaran di ranah pendidikan," jelas Rifaldi.
Selain itu, massa aksi juga mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang perampasan aset. Rifaldi menegaskan bahwa langkah ini penting untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya negara.
"Kita juga melihat DPRD Sumbar menentang RUU Minerba. Kami tidak ingin ada pembungkaman di kampus," tambah Rifaldi, menyinggung penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Minerba yang dinilai merugikan kepentingan publik.
Aksi ini mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan aktivis lingkungan. Menurut data yang dihimpun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Transparansi Indonesia, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah telah berdampak signifikan pada penurunan kualitas layanan publik, terutama di daerah-daerah tertinggal.
"Kebijakan pengurangan anggaran di sektor pendidikan dan kesehatan akan memperlebar kesenjangan sosial. Ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyat," ujar Direktur Eksekutif Transparansi Indonesia, Nurlia, dalam keterangan tertulisnya.
Sementara itu, pemerintah melalui Jubir Presiden, Andi Arief, membantah tudingan bahwa kebijakan efisiensi anggaran merugikan rakyat. "Inpres Nomor 1 Tahun 2025 justru bertujuan untuk memastikan penggunaan anggaran yang efektif dan efisien. Prioritas tetap pada sektor-sektor yang mendukung kesejahteraan rakyat," kata Andi dalam konferensi pers di Jakarta.
Meski demikian, aksi yang digelar BEM SB ini menunjukkan bahwa masih ada ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah dalam 100 hari pertama. Demonstrasi ini juga menjadi penanda bahwa suara mahasiswa dan masyarakat sipil tetap kritis dalam mengawal kebijakan pemerintah.
Dengan tuntutan yang jelas dan dukungan data dari lembaga terpercaya, aksi BEM SB ini diharapkan dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat. (rel/*)