Jakarta, pasbana – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) melaporkan bahwa kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia sepanjang tahun 2024 mencapai 77.965 tenaga kerja.
Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 20,2% dibandingkan dengan tahun 2023, di mana kasus PHK tercatat sebanyak 64.855 tenaga kerja. Data tersebut dipublikasikan melalui laman Satu Data Kemenaker pada Kamis (20/2/2025).
Kemenaker mencatat bahwa Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan jumlah korban PHK terbanyak pada 2024, dengan total 17.085 tenaga kerja yang terkena dampak.
Provinsi-provinsi lain yang juga mengalami lonjakan kasus PHK antara lain Jawa Tengah (13.130 tenaga kerja), Banten (13.042 tenaga kerja), Jawa Barat (10.661 tenaga kerja), Jawa Timur (5.327 tenaga kerja), dan DI Yogyakarta (2.699 tenaga kerja).
Peningkatan kasus PHK ini diduga kuat dipicu oleh berbagai faktor, termasuk perlambatan ekonomi global, penurunan permintaan ekspor, serta transformasi industri yang mengarah pada otomatisasi dan digitalisasi.
Sektor tekstil, garment, dan sepatu menjadi yang paling terdampak, sebagaimana diungkapkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN). Presiden KSPN, Ristadi, menyatakan bahwa sekitar 16.000 anggotanya menjadi korban PHK sepanjang 2024, dengan mayoritas berasal dari sektor-sektor tersebut.
Selain pekerja di sektor tekstil dan garment, ribuan tenaga kerja di berbagai provinsi juga terkena imbasnya. Misalnya, di Tangerang, Banten, tercatat 2.400 tenaga kerja di tiga perusahaan mengalami PHK. Sementara itu, di Kabupaten Bandung dan Subang, Jawa Barat, ribuan pekerja juga kehilangan pekerjaan.
Ristadi menambahkan bahwa angka sebenarnya di lapangan mungkin lebih besar dari yang dilaporkan, karena banyak korban PHK yang enggan diekspos.
Kasus PHK ini terjadi sepanjang tahun 2024, dengan puncaknya pada kuartal kedua dan ketiga. Provinsi-provinsi dengan industri manufaktur dan tekstil yang kuat, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten, menjadi wilayah yang paling terdampak. Sementara itu, DKI Jakarta, sebagai pusat ekonomi nasional, juga mencatat angka PHK tertinggi.
Peningkatan kasus PHK ini tidak hanya berdampak pada tingkat pengangguran, tetapi juga pada daya beli masyarakat. Menurut pengamat ketenagakerjaan, penurunan daya beli dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah memperluas manfaat tunjangan PHK melalui Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan pentingnya menjaga ketahanan dana BPJS Ketenagakerjaan agar program ini dapat berkelanjutan.
Kemenaker dan berbagai pihak terkait terus berupaya menangani dampak PHK ini, antara lain dengan meningkatkan program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) bagi tenaga kerja yang terdampak. Selain itu, pemerintah juga mendorong penciptaan lapangan kerja baru melalui investasi di sektor-sektor yang potensial, seperti industri hijau dan teknologi digital.
“Data PHK 2024 anggota KSPN sekitar 16.000-an, mayoritas sektor tekstil, garment, dan sepatu. Sebetulnya data lapangan lebih banyak, tapi banyak yang keberatan diekspos,” ujar Ristadi, Presiden KSPN, dalam wawancara pada Kamis (20/2/2025).
Dengan meningkatnya kasus PHK, pemerintah dan stakeholders diharapkan dapat bekerja sama untuk menciptakan solusi jangka panjang yang berkelanjutan, demi menjaga stabilitas ketenagakerjaan dan perekonomian nasional. (*)