Pasbana - Tahun 2025 baru saja dimulai, tetapi kelas menengah Indonesia sudah terengah-engah menghadapi tekanan ekonomi yang semakin berat. Daya beli merosot, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, utang konsumtif meroket, dan laba bank-bank besar seperti BBRI, BMRI, dan BBNI hanya naik di bawah 5%.
Hanya BBCA yang masih bisa tersenyum tipis dengan pertumbuhan laba dua digit. Namun, ketika tiga bank besar lainnya mulai kehilangan momentum, ini bukanlah pertanda baik bagi perekonomian Indonesia.
Kondisi ini bukan sekadar angka-angka dalam laporan keuangan, melainkan sinyal bahwa mesin ekonomi Indonesia mulai batuk-batuk. Tidak perlu melihat data makro, cukup cek dompet Anda sendiri. Laporan LPEM UI 2023 menunjukkan bahwa konsumsi kelas menengah turun dari 41.9% menjadi 36.8%, sementara konsumsi calon kelas menengah justru meningkat dari 42.4% ke 45.5%. Artinya, semakin banyak orang yang masuk ke kelas menengah, tetapi mereka yang sudah berada di dalamnya mulai kepayahan.
Daya Beli Nyungsep, Harga Melambung Tinggi
Riset Inventure 2025 mengungkapkan bahwa 49% kelas menengah mengaku daya beli mereka menurun, dengan 85% menyalahkan kenaikan harga kebutuhan pokok. Harga sembako yang terus naik, biaya pendidikan yang membengkak, dan sulitnya mencari pekerjaan membuat banyak keluarga kelas menengah kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Namun, ironisnya, utang konsumtif justru semakin menggila. Orang-orang masih memaksakan diri untuk membeli HP baru dan meng-upgrade gaya hidup mereka dengan menggunakan layanan paylater.
Data menunjukkan bahwa 19% Gen Z semakin sering menggunakan paylater untuk berbelanja, sementara hanya 4% yang menambah penggunaan kartu kredit. Ini menunjukkan bahwa banyak orang tidak memiliki uang tunai, tetapi tetap memaksakan diri untuk mempertahankan gaya hidup yang tidak sesuai dengan kemampuan finansial mereka.
Utang Konsumtif: Jalan Menuju Kebangkrutan?
Utang konsumtif bukanlah solusi, melainkan jalan menuju kebangkrutan pribadi. Riset Inventure 2025 mencatat bahwa 14% kelas menengah pernah bermain judi online, dan 69% di antaranya harus memotong pengeluaran rumah tangga untuk menutup utang dari judi online. Uang makan dipotong, cicilan mobil tertunda, dan bahkan ada yang tidak mampu lagi menyekolahkan anak karena uangnya tersangkut di server judi online luar negeri.
Fenomena ini bukan sekadar masalah finansial, tetapi juga masalah sosial yang serius. Apakah kita sedang menuju generasi yang semakin cerdas secara finansial, atau justru semakin mudah dibodohi oleh ilusi kemudahan dan kenyamanan instan?
Perubahan Gaya Hidup: Dari Foya-Foya ke Bertahan Hidup
Gaya hidup kelas menengah juga mengalami perubahan drastis. Jika dulu nongkrong di coffee shop mahal adalah standar, sekarang 76% lebih memilih coffee shop lokal. Jika dulu belanja di minimarket modern adalah kebiasaan, sekarang 74% orang lebih memilih berbelanja di Warung Madura yang buka 24 jam dengan harga lebih murah. Bahkan, mall yang dulunya menjadi tempat belanja, sekarang lebih banyak diisi oleh bank dan tempat ibadah.
Menurut riset terbaru, tren pengunjung mall kini lebih banyak ke layanan finansial dan tempat ibadah dibanding ke toko-toko ritel. Orang sudah tidak terlalu peduli dengan barang-barang branded, tetapi lebih peduli dengan cara membayar cicilan bulanan tanpa harus menjual motor. Mall berubah fungsi dari tempat foya-foya menjadi tempat refleksi keuangan dan spiritual.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Lalu, siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas kondisi ini? Apakah pemerintah yang gagal menekan inflasi dan menciptakan lapangan kerja yang layak? Atau masyarakat yang lebih memilih berutang untuk memenuhi gaya hidup konsumtif daripada menabung untuk masa depan? Atau mungkin bank-bank besar yang mulai pelit memberikan kredit kepada usaha kecil, tetapi mudah sekali menyebarkan utang konsumtif?
Yang jelas, kelas menengah Indonesia sedang berada di titik kritis. Jika situasi ini tidak segera berubah, kita mungkin akan melihat lebih banyak orang yang turun kelas. Pertanyaannya, apakah kita masih bisa bertahan, atau kita semua akan terjebak dalam siklus utang dan ilusi ekonomi stabil yang tidak pernah benar-benar terjadi?
Tips Praktis untuk Bertahan di Tengah Krisis
1. Prioritaskan Kebutuhan Dasar: Fokus pada kebutuhan pokok seperti makanan, pendidikan, dan kesehatan. Hindari pengeluaran yang tidak perlu.
2. Kurangi Utang Konsumtif: Hindari penggunaan paylater dan kartu kredit untuk membeli barang-barang yang tidak penting.
3. Investasi dalam Pendidikan dan Keterampilan:
Tingkatkan keterampilan Anda untuk meningkatkan peluang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
4. Buat Rencana Keuangan: Buat anggaran bulanan dan patuhi rencana tersebut. Sisihkan sebagian pendapatan untuk tabungan darurat.
5. Hindari Judi Online: Jangan terjebak dalam permainan judi online yang bisa merusak keuangan Anda.
Kelas menengah Indonesia sedang menghadapi tekanan ekonomi yang berat. Daya beli yang menurun, harga kebutuhan pokok yang melambung, dan utang konsumtif yang menggila adalah tantangan serius yang harus dihadapi. Namun, dengan perubahan gaya hidup dan kebiasaan finansial yang lebih bijak, kita masih bisa bertahan dan bahkan bangkit dari krisis ini.
Mari terus meningkatkan literasi finansial dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengamankan masa depan kita. Jangan biarkan diri kita terjebak dalam siklus utang dan ilusi ekonomi stabil yang tidak pernah benar-benar terjadi.
Dengan memahami situasi dan mengambil langkah-langkah yang tepat, kita bisa melewati masa sulit ini dan membangun masa depan yang lebih baik.(*)