Jakarta, pasbana – Program 3 Juta Rumah yang menjadi salah satu prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kembali menjadi sorotan publik. Dalam perkembangan terbaru, sejumlah investor asing dari Qatar, Uni Emirat Arab (UEA), Turki, dan Singapura dikabarkan tertarik untuk menanamkan modal dalam proyek ambisius ini. Namun, di tengah minat investor asing tersebut, bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) tetap diwajibkan untuk mendanai program ini. Lantas, apa alasan pemerintah mempertahankan peran Himbara meskipun ada dukungan dari luar negeri?
Skema Pendanaan yang Melibatkan Banyak Pihak
Program 3 Juta Rumah adalah proyek besar yang membutuhkan pendanaan masif. Untuk meminimalkan risiko dan memastikan keberlanjutan, pendanaan biasanya berasal dari berbagai sumber. Investor asing, misalnya, mungkin menawarkan modal melalui investasi langsung atau pembelian obligasi. Namun, dana tersebut sering kali tidak cukup untuk menutup seluruh kebutuhan proyek.
Bank Himbara—yang terdiri dari PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia (BNI), dan PT Bank Tabungan Negara (BTN)—memiliki peran penting dalam menyediakan akses pembiayaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), bank-bank Himbara diminta untuk berkontribusi melalui skema seperti kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi.
"Peran Himbara bukan hanya soal membangun fisik rumah, tetapi juga memastikan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah memiliki akses terhadap pembiayaan perumahan dengan suku bunga yang terjangkau," ujar Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR, Khalawi Abdul Hamid, dalam sebuah wawancara dengan media nasional.
Risiko bagi Bank Himbara
Meskipun tujuan program ini mulia, kewajiban pendanaan oleh Himbara menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi investor saham perbankan. Sebuah artikel dari Warta Ekonomi menyebutkan bahwa kebijakan ini berpotensi membuat harga saham bank-bank Himbara turun. Hal ini masuk akal mengingat bank harus mengalokasikan dana besar dengan risiko yang belum sepenuhnya terukur, seperti ketepatan sasaran subsidi, kemampuan bayar debitur, serta potensi kredit macet.
Menurut analis ekonomi senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, "Jika program ini tidak dirancang dengan baik, bank-bank Himbara bisa terbebani dengan portofolio kredit yang berisiko tinggi. Dalam skenario terburuk, profitabilitas bank bisa terganggu, yang pada akhirnya berdampak pada pemegang saham dan stabilitas keuangan bank itu sendiri."
Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di sektor perbankan Indonesia saat ini mencapai 3,1%, angka yang relatif stabil namun tetap perlu diwaspadai jika beban tambahan diberikan.
Mengapa Pemerintah Tetap Libatkan Himbara?
Ada beberapa alasan strategis mengapa pemerintah tetap meminta bank Himbara untuk membiayai program ini:
1. Kontrol Regulasi: Pemerintah lebih mudah mengatur dan memastikan keberlanjutan program jika melibatkan bank milik negara. Dengan adanya kontrol langsung, implementasi program dapat disesuaikan dengan kebijakan nasional tanpa bergantung sepenuhnya pada kepentingan investor asing.
2. Akses Masyarakat Berpenghasilan Rendah: Investor asing cenderung lebih tertarik pada skema investasi yang memberikan keuntungan finansial langsung. Di sisi lain, bank Himbara memiliki tanggung jawab sosial untuk memberikan pembiayaan dengan bunga rendah kepada kelompok masyarakat yang kurang mampu.
3. Stabilitas Ekonomi dan Keuangan: Dengan melibatkan bank dalam negeri, pemerintah dapat memastikan bahwa uang tetap berputar dalam ekonomi nasional. Ketergantungan pada modal asing dapat membawa risiko geopolitik dan ekonomi yang sulit diprediksi.
"Pelibatan Himbara adalah langkah strategis untuk menjaga kedaulatan ekonomi nasional," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah konferensi pers baru-baru ini.
Meskipun ada dukungan dari investor asing, pendanaan dari bank Himbara tetap diperlukan karena model investasi asing tidak selalu mencakup seluruh aspek program. Investor asing umumnya fokus pada proyek-proyek yang menguntungkan secara finansial, sedangkan Himbara memiliki peran sosial untuk memastikan inklusi masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun, keterlibatan Himbara harus diimbangi dengan mitigasi risiko yang kuat agar tidak berdampak negatif pada stabilitas keuangan perbankan nasional. Bagi investor saham perbankan, ini bisa menjadi tantangan tersendiri. Jika proyek ini dikelola dengan baik, ada potensi keuntungan dalam jangka panjang. Namun, jika tidak, risiko terhadap laba bank dan harga sahamnya patut diwaspadai.
Dengan sinergi antara Himbara, investor asing, dan pemerintah, Program 3 Juta Rumah diharapkan dapat menjadi solusi nyata bagi backlog perumahan di Indonesia, yang saat ini mencapai 12,75 juta unit, menurut data Kementerian PUPR.
(tsab)