Padang Panjang, pasbana – Dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang menggelar aksi unjuk rasa secara kreatif pada Rabu (12/02) di depan Program Studi Karawitan.
Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap penundaan pencairan Tunjangan Kinerja (Tukin) yang telah berlangsung sejak 2020 hingga 2024. Dengan memadukan seni musik, orasi, dan tarian, para dosen menyuarakan tuntutan mereka secara simbolis dan penuh ekspresi.
Aksi dimulai pukul 13.00 WIB dengan pembukaan lagu berjudul "Tukin Terluka", sebuah karya musik yang menggambarkan kondisi hati para dosen yang merasa terabaikan.
Pertunjukan musik etnik dan barat turut mewarnai aksi ini, menjadi media ekspresi keresahan mereka terhadap ketidakpastian hak sebagai pendidik. Aksi ini tidak hanya menjadi ajang protes, tetapi juga menunjukkan betapa seni dapat menjadi alat perjuangan yang powerful.
Dalam orasinya, Edy Suisno, S.Sn., M.Sn., perwakilan dosen dari Program Studi Televisi dan Film, menegaskan tuntutan mereka.
"Kami meminta Bapak Presiden untuk menjaga marwah dan martabat pendidikan, karena itu adalah amanat konstitusi dalam UUD 1945. Dosen memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika tidak ada respons konkret dari pemerintah, kami siap melakukan mogok mengajar secara serentak di seluruh Indonesia," tegasnya.
Tukin, yang seharusnya menjadi hak dasar dosen ASN di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), tertunda tanpa kejelasan sejak 2020.
Penundaan ini dinilai tidak adil karena menciptakan kesenjangan antara dosen di berbagai klaster perguruan tinggi. Menurut data yang dihimpun oleh Asosiasi Dosen Indonesia (ADI), sekitar 60% dosen ASN di seluruh Indonesia masih menunggu pencairan tunjangan tersebut.
Aksi ini tidak hanya berhenti di lokasi unjuk rasa. Para peserta didorong untuk menyebarluaskan pesan melalui media sosial dengan mengunggah foto dan video aksi. Hal ini sejalan dengan jargon aksi, "Seni Menggemparkan Jagat Maya, Menuntut Hak Tukin Dosen ASN Indonesia". Tujuannya adalah agar suara mereka terdengar lebih luas dan mendapat perhatian dari pemerintah pusat.
"Kami berharap aksi ini tidak hanya menjadi sekadar pertunjukan, tetapi juga menjadi pemicu bagi pemerintah untuk segera bertindak. Pendidikan adalah pondasi bangsa, dan dosen adalah ujung tombaknya. Jika hak-hak kami diabaikan, bagaimana mungkin kami dapat menjalankan tugas dengan optimal?" ujar salah seorang dosen yang enggan disebutkan namanya.
Aksi ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa dan seniman lokal. Mereka menilai bahwa perjuangan dosen ISI Padangpanjang adalah cerminan dari masalah sistemik yang dialami oleh para pendidik di seluruh Indonesia.
"Ini bukan hanya tentang tunjangan, tetapi tentang penghargaan terhadap profesi dosen yang selama ini berjuang untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa," kata Rina, seorang mahasiswi yang turut hadir dalam aksi tersebut.
Dengan aksi ini, para dosen ISI Padangpanjang berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan Tukin. Mereka menegaskan bahwa seni bukan hanya alat ekspresi, tetapi juga suara yang harus didengar. Jika tuntutan mereka tidak direspons, aksi serupa akan digelar di berbagai daerah dengan skala yang lebih besar.(Dea Asmiatih)