Notification

×

Iklan

Iklan

Adab sebelum Ilmu: Mengapa Pendidikan Karakter Harus Jadi Prioritas Utama?

12 Maret 2025 | 06:00 WIB Last Updated 2025-03-11T23:00:06Z



Pasbana - Dalam dunia yang semakin cepat dan kompetitif, kita sering terjebak dalam euforia mengejar gelar, sertifikat, dan keterampilan teknis. 

Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apa gunanya segudang ilmu jika adab tak terbentuk? 

Dalam sejarah pendidikan Islam, adab adalah fondasi pertama yang ditanamkan sebelum anak-anak diajari ilmu pengetahuan. Ini bukan sekadar tradisi, melainkan sebuah filosofi pendidikan yang relevan hingga hari ini.

James Heckman, peraih Nobel bidang Ekonomi, menemukan bahwa investasi pada anak usia dini—terutama dalam pembentukan karakter—memberikan pengembalian ekonomi dan sosial yang luar biasa. 

Artinya, membangun adab sejak kecil bukan hanya soal moral, tapi juga investasi masa depan yang cerdas. Namun, bagaimana praktiknya di dunia modern? 

Apakah kita masih serius menanamkan adab, atau justru terlena dengan target akademis semata?

Adab: Fondasi yang Mulai Retak?


Di Yordania, anak-anak diajari agama dan adab sebelum mereka berusia 10 tahun. Baru setelah itu, mereka dibekali ilmu pengetahuan. 

Ini mirip dengan pepatah Jawa, "Ojo dumeh," yang mengingatkan kita untuk tidak sombong meski punya banyak ilmu. 

Tapi, lihatlah sekitar kita. Anak-anak usia sekolah dasar dan menengah sering terlihat "kehilangan arah" di masjid. 

Mereka bermain, bergelut, atau asyik dengan gadget saat salat atau pengajian berlangsung. Mirisnya, jarang ada orang dewasa yang menegur atau membimbing mereka.

Fenomena ini bukan sekadar masalah disiplin salat, tapi cermin dari krisis adab yang lebih besar. Jika anak-anak tak diajari tertib di masjid, bagaimana kita berharap mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang jujur, disiplin, dan bertanggung jawab? 

Apalagi, di tengah situasi bangsa kita yang carut-marut dengan korupsi dan ketidakjujuran. Benarkah ini warisan dari generasi yang lalai menanamkan adab?

Ramadan: Momentum Emas untuk Membenahi Adab

Bulan Ramadan seharusnya menjadi momen tepat untuk melatih adab anak-anak. Tapi, apa yang terjadi? Pesantren Ramadan sering kali hanya fokus pada kurikulum materi keagamaan, tanpa memberi perhatian serius pada pembentukan karakter. 

Anak-anak diajari menghafal doa dan surat pendek, tapi bagaimana dengan adab salat, sopan santun, atau kepekaan sosial? Ini seperti membangun rumah tanpa fondasi—rapuh dan mudah roboh.

Bayangkan jika masjid-masjid kita punya "satgas adab" yang bertugas mengarahkan anak-anak selama Ramadan. Bukan dengan cara otoriter, tapi melalui pendekatan yang menyenangkan dan edukatif. 

Misalnya, dengan metode experiential learning—belajar melalui pengalaman langsung. Anak-anak diajak memahami pentingnya tertib salat, bukan sekadar disuruh menghafal aturan. Dengan begitu, Ramadan tak hanya meninggalkan kenangan manis, tapi juga bekas yang mendalam dalam karakter mereka.

Guru dan Orang Tua: Ujung Tombak Perubahan

Guru mengaji, guru TK, dan SD punya peran krusial dalam membentuk adab anak-anak. Seperti kekhawatiran guru-guru di Australia, perilaku anak perlu dibenahi sebelum mereka diajari matematika atau sains. 

Ini bukan berarti mengabaikan ilmu pengetahuan, tapi menempatkan adab sebagai prioritas utama. Bagaimana mungkin anak bisa fokus belajar jika mereka tak diajari menghormati guru, disiplin, atau bekerja sama dengan teman?

Orang tua juga tak boleh lepas tangan. Membawa anak ke masjid itu baik, tapi jangan hanya sekadar "menitipkan" mereka di shaf belakang. 

Ajaklah anak salat di samping kita, beri contoh khusyuk, dan jelaskan makna di balik setiap gerakan salat. Ingat, anak-anak adalah peniru ulung. Jika kita cuek, mereka pun akan belajar untuk cuek.

Adab: Senjata Ampuh Melawan Korupsi

Korupsi bukan hanya masalah hukum, tapi juga krisis moral. Negara dengan masyarakat yang adabnya terbentuk baik, kecil kemungkinannya terjebak dalam praktik korupsi. 

Sebaliknya, di negara yang adabnya tergerus, korupsi akan merajalela—meski mayoritas penduduknya beragama. Ini mengingatkan kita pada nasihat Imam Syafi'i: "Ilmu tanpa adab bagai api tanpa kayu bakar, sedangkan adab tanpa ilmu bagai jasad tanpa ruh."

Mari kita jadikan Ramadan tahun ini sebagai titik balik. Tak hanya sekadar mengejar target tilawah atau puasa penuh, tapi juga fokus membenahi adab generasi muda. 

Karena, jika adab baik, ilmu akan mengikuti. Dan ketika adab dan ilmu bersatu, kita akan punya generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga berkarakter kuat. Bukankah itu yang kita butuhkan untuk membangun bangsa yang lebih baik?

Jadi, masih mau cuek dengan adab?

(*) 

IKLAN


×
Kaba Nan Baru Update