Pasbana - Bayangkan sebuah bangunan megah. Setiap bata saling menopang, saling menguatkan. Tak ada celah untuk retak, apalagi roboh. Sekarang, bayangkan umat Islam seperti bangunan itu. Setiap individu adalah batanya, dan persaudaraan (ukhuwwah) adalah semen yang merekatkannya.
Tanpa semen, batu bata itu hanya tumpukan materi yang mudah runtuh. Tanpa ukhuwwah, umat ini hanya kumpulan individu yang rentan terpecah belah.
Persaudaraan dalam Islam bukan sekadar basa-basi atau sekadar ajakan untuk saling menyapa di media sosial. Ia adalah ikatan suci yang dibangun di atas fondasi iman dan cinta karena Allah. Ia adalah upgrade dari persaudaraan biasa—bukan sekadar “hi, bro!” tapi lebih ke “saya siap berkorban untukmu, demi Allah.”
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Ayat ini bukan sekadar pengingat, tapi semacam alarm yang berdering keras: “Jagalah persaudaraanmu, atau kehancuran akan mengintai.”
Cinta karena Allah: Bukan Cinta-Cintaan Biasa
Pernah dengar istilah friendzone? Nah, dalam ukhuwwah Islami, tidak ada istilah itu. Persaudaraan dalam Islam adalah zona cinta tanpa syarat—cinta karena Allah. Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bayangkan jika kita benar-benar menerapkan ini. Tak akan ada lagi iri hati, dengki, atau saling sikut. Yang ada hanyalah saling peduli, saling membantu, dan saling menguatkan. Cinta seperti ini bukan cinta ala sinetron yang penuh drama, tapi cinta yang tulus, ikhlas, dan penuh ketenangan.
Lapang Dada: Senjata Ampuh Melawan Dengki
Salah satu tantangan terbesar dalam menjaga persaudaraan adalah penyakit hati: dengki, iri, dan prasangka buruk. Rasulullah SAW mengingatkan:
“Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lapang dada adalah obatnya. Lapang dada berarti kita mampu menerima kekurangan saudara kita, memaafkan kesalahannya, dan selalu berprasangka baik. Lapang dada itu seperti karet gelang—fleksibel, tidak mudah putus, dan bisa meregang saat diperlukan.
Tapi, jangan salah. Lapang dada bukan berarti kita diam saja saat melihat kesalahan. Justru, lapang dada mengajarkan kita untuk menasihati dengan cara yang baik, tanpa emosi, dan tanpa menghakimi.
Itsar: Ketika Mengutamakan Orang Lain Menjadi Gaya Hidup
Puncak dari persaudaraan adalah itsar—mengutamakan orang lain atas diri sendiri. Ini bukan sekadar teori, tapi sudah dipraktikkan oleh para sahabat Nabi. Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab yang saling mengutamakan dalam kebaikan adalah contoh nyata.
Itsar itu seperti memberi tempat dudukmu di bus kepada orang lain, padahal kakimu sudah pegal. Itsar itu seperti membagi makan siangmu, padahal perutmu juga keroncongan. Itsar adalah bukti bahwa cinta karena Allah itu nyata, bukan sekadar kata-kata.
Persaudaraan: Modal Utama Melawan Kehancuran
Persaudaraan dalam Islam adalah modal utama untuk membangun umat yang kuat dan bersatu. Tanpa persaudaraan, kita hanya akan menjadi kumpulan individu yang mudah dipecah belah. Allah SWT memperingatkan:
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang, dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)
Perpecahan adalah sumber kelemahan, sementara persaudaraan adalah sumber kekuatan. Ketika kita bersatu, kita seperti bangunan kokoh yang tak mudah goyah. Tapi ketika kita terpecah, kita seperti rumah kartu yang runtuh hanya karena tiupan angin kecil.
Mari Jadikan Ukhuwwah sebagai Gaya Hidup
Saudaraku, persaudaraan dalam Islam bukan sekadar konsep indah yang hanya dibicarakan di majelis taklim. Ia adalah gaya hidup yang harus kita praktikkan setiap hari.
Dengan lapang dada, cinta yang tulus, dan itsar, kita bisa membangun persaudaraan yang kuat dan abadi.
Mari kita jadikan ukhuwwah sebagai senjata melawan kehancuran. Mari kita jadikan persaudaraan sebagai jalan menuju persatuan dan kekuatan.
Karena, pada akhirnya, kita semua adalah saudara—bersaudara dalam iman, bersaudara dalam kebaikan, dan bersaudara dalam cinta karena Allah.
9 Ramadhan 1446 H.
Sanitsaka