Notification

×

Iklan

Iklan

At-Tsiqah: Ketika Hati Menjadi Komandan, Perbuatan pun Tunduk pada Syariat

10 Maret 2025 | 10:43 WIB Last Updated 2025-03-10T23:02:12Z



Pasbana - Di tengah gemuruh dunia yang serba cepat, di mana godaan dan distraksi datang silih berganti, ada satu hal yang tetap menjadi kompas bagi seorang Muslim: kemantapan hati (at-tsiqah). 

Bukan sekadar keyakinan biasa, at-tsiqah adalah ketenangan batin yang membuat seseorang teguh seperti karang di tengah ombak. Ia adalah kekuatan yang mengontrol setiap langkah, setiap keputusan, dan setiap perbuatan agar selaras dengan syariat Islam. 

Bayangkan at-tsiqah seperti GPS spiritual. Ketika hati sudah mantap, kita tak akan tersesat meski jalanan kehidupan penuh dengan belokan dan lubang. Rasulullah SAW pernah mengingatkan, “Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Khalik (Pencipta).” Artinya, kemantapan hati adalah modal utama untuk memastikan bahwa setiap tindakan kita tidak melenceng dari rel yang telah digariskan Allah.

Ketaatan: Bukan Sekadar Ikut-ikutan, Tapi Mantap Hati


Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:  
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Ayat ini seperti tamparan halus bagi kita yang sering kali “ngeyel” atau mencari celah untuk tidak taat. Misalnya, shalat tepat waktu? “Ah, nanti saja, masih ada waktu.” Atau, menghindari ghibah? “Tapi ini kan hanya sekadar curhat.” Padahal, kemantapan hati mengajarkan kita untuk tidak setengah-setengah dalam ketaatan. 

Rasulullah SAW juga mengingatkan, “Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari dan Muslim). Jadi, jika hati sudah mantap, kita tak akan lagi mencari alasan untuk menunda atau mengabaikan perintah Allah. Ketaatan bukan lagi beban, tapi menjadi kebutuhan.

Pemimpin: Bukan Sekadar Bos, Tapi Cermin Ketaatan


Dalam Islam, pemimpin bukan sekadar orang yang duduk di kursi kekuasaan. Mereka adalah orang tua yang mengikat hati, guru yang memberi ilmu, syaikh yang mendidik ruhani, dan komandan yang menentukan arah dakwah

Tapi, bagaimana kita memandang pemimpin? Apakah kita taat hanya karena takut, atau karena hati kita mantap bahwa mereka membawa kita ke jalan yang benar?

Allah SWT berfirman:  
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59)

Tapi, hati-hati! Ketaatan kepada pemimpin bukanlah ketaatan buta. Rasulullah SAW mengingatkan, “Barangsiapa yang taat kepada pemimpin, maka ia telah taat kepadaku. Dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpin, maka ia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Namun, ini berlaku selama pemimpin tidak memerintahkan kemaksiatan. Jika pemimpin menyuruh kita melanggar syariat, maka kemantapan hati kita harus lebih kuat untuk mengatakan, “Tidak!”


Keteladanan: Dari Abu Bakar hingga Imam Syafi’i, Mereka yang Hatinya Tak Goyah


Sejarah Islam dipenuhi oleh tokoh-tokoh yang hatinya seperti batu karang, tak tergoyahkan oleh badai. Ambil contoh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketika Rasulullah SAW wafat, banyak orang yang goyah imannya. Tapi Abu Bakar dengan tegas berkata, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Tetapi barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan mati.” (HR. Bukhari). Ini adalah contoh kemantapan hati yang luar biasa.

Lalu ada Umar bin Khattab, sang pemimpin yang adil. Ketika wabah melanda Syam, Umar memilih untuk tidak memasuki wilayah tersebut demi keselamatan umat. Padahal, ia sangat ingin bertemu dengan para sahabatnya. Tapi, kemantapan hatinya membuatnya memilih keputusan yang paling sesuai dengan syariat.

Jangan lupakan Imam Syafi’i, yang pernah berkata, “Aku tidak pernah merasa kenyang dengan ilmu, karena ilmu adalah makanan bagi ruh.” Ini adalah bukti bahwa kemantapan hati juga diperlukan dalam menuntut ilmu dan mengamalkannya.

At-Tsiqah di Era Modern: Tantangan dan Peluang


Di era digital seperti sekarang, kemantapan hati diuji dengan cara yang berbeda. Godaan untuk scroll media sosial berjam-jam, ikut-ikutan tren yang tidak sesuai syariat, atau bahkan terpengaruh oleh opini yang menyesatkan, adalah tantangan nyata. Tapi, di sinilah at-tsiqah berperan. 

Ketika hati sudah mantap, kita akan lebih bijak dalam menggunakan teknologi, lebih selektif dalam memilih informasi, dan lebih tegas dalam menolak hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kemantapan hati adalah tameng yang melindungi kita dari arus negatif zaman.

Hati yang Mantap, Hidup yang Tenang


Allah SWT berfirman:  
Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. At-Talaq: 4)

Kemantapan hati adalah kunci untuk meraih ketenangan hidup. Ia membuat kita tidak mudah goyah oleh ujian, tidak mudah terpengaruh oleh godaan, dan tidak mudah menyerah dalam perjuangan. 

Jadi, mari kita jaga hati kita agar tetap mantap. Karena, seperti kata pepatah Arab, “Hati adalah raja, sedangkan anggota badan adalah pasukannya.” Jika rajanya kuat, pasukannya pun akan tunduk pada perintah yang benar. 

Semoga kita semua diberikan kemantapan hati yang kuat, sehingga kita bisa menjadi hamba-hamba-Nya yang istiqamah. Aamiin.

10 Ramadhan 1446 H.
Sanitsaka

IKLAN


×
Kaba Nan Baru Update