Jakarta, pasbana - Jika pasar saham adalah sebuah keluarga, maka pada 18 Maret ini IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) memilih untuk menjadi "anak durhaka" yang nekat terjun bebas sementara saudara-saudaranya di bursa regional masih asyik berenang di zona hijau.
Ya, IHSG resmi trading halt setelah terperosok 5,02% ke level 6.146,91. Bukan sekadar koreksi, ini lebih mirip aksi "panic selling" massal yang membuat investor bertanya-tanya: "Ini kiamat kecil atau sekadar ujian kesabaran?"
Sejak pagi, IHSG sudah menunjukkan gelagat tak bersahabat. Indeks meluncur turun bak anak kecil yang ngambek, semakin sore semakin dalam, sampai akhirnya Bursa Efek Indonesia (BEI) memutuskan untuk menekan tombol darurat. Bukan untuk menyelamatkan investor, tapi mungkin agar mereka punya waktu sejenak untuk merenung: "Cutloss sekarang atau tunggu sampai lebih dalam lagi?"
Panic Selling: Ketika Algo Trading pun Ikut Kebingungan
Nilai transaksi hari ini adalah potret pilu pasar yang putus asa. Pasar reguler mencatatkan transaksi senilai Rp 6,78 triliun, sementara total seluruh pasar mencapai Rp 8,40 triliun. Ini bukan sekadar aksi jual biasa, ini sudah masuk kategori "panic selling" nasional.
Bahkan, algo trading dan bandar saham pun tampaknya ikut kebingungan. Bukannya mencoba menahan laju penurunan, mereka malah seperti mendorong IHSG agar semakin nyungsep.
Yang bikin miris, saham-saham LQ45—yang biasanya jadi andalan investor—ikut jadi korban pembantaian. BRPT anjlok 18,71%, MAPI rontok 8,22%, AMRT terseret 7,41%. Bahkan saham-saham perbankan seperti BMRI, BBNI, dan AMMN yang biasanya jadi pilihan investor institusi pun tak luput dari hantaman. Ini bukan sekadar koreksi, ini lebih mirip pembersihan massal tanpa ampun.
Teori Konspirasi: Siapa yang Harus Disalahkan?
Lalu, siapa yang patut disalahkan? Banyak teori konspirasi bermunculan. Pertama, isu mundurnya Sri Mulyani dan Airlangga Hartarto dari pemerintahan. Keduanya dianggap sebagai figur ekonomi yang kuat. Jika benar mereka mundur, siapa yang akan memegang kendali ekonomi? Siapa yang akan merapikan APBN yang semakin jebol?
Kedua, efek libur panjang. Uang investor "nyangkut", volume perdagangan tipis, dan investor malas kembali ke pasar. Akibatnya, harga saham turun tanpa ada yang bisa menahan.
Ketiga, rebalancing FTSE yang akan terjadi pada 21 Maret 2025. Banyak saham Indonesia yang terkena dampak rebalancing down, artinya investor asing terpaksa melepas saham mereka. Dan karena likuiditas IHSG yang cetek, sekali investor asing menjual dalam jumlah besar, indeks langsung ambruk.
Keempat, defisit APBN yang melebar, pelemahan rupiah, penerimaan negara yang jeblok, dan budaya korupsi yang semakin menggurita. Semua faktor ini menciptakan kombinasi sempurna untuk membuat investor hanya punya dua pilihan: lari atau pasrah.
Prabowo dan Konglomerat: Diskusi yang Tak Berdampak
Yang lebih absurd, Prabowo Subianto sudah mengumpulkan para konglomerat untuk membahas situasi ini. Tapi, IHSG tetap tenggelam. Sudah dipanggil semua orang kaya, sudah didiskusikan, tapi pasar saham seolah berkata, "Kami tidak peduli."
Dulu, Prabowo pernah mengaku kapok main saham karena menurutnya itu judi. Hari ini, IHSG seakan ingin membuktikan bahwa yang benar-benar berjudi adalah mereka yang masih berharap pasar ini punya pegangan.
Bagi yang Masih Percaya Fundamental: Ini Saatnya Berburu
Tapi, bagi yang masih percaya pada fundamental, ini bukan waktunya panik. Justru, ini adalah saat yang tepat untuk berburu saham-saham berkualitas. Cari perusahaan dengan laba besar, utang minimal, arus kas sehat, valuasi murah, dan dividen stabil. Jika masih yakin, cicil beli. Tapi jika sudah mulai ragu, cutloss sebelum makin dalam.
Hari ini, IHSG memberikan pelajaran keras: ketika pasar ingin jatuh, tidak ada yang bisa menolong. Bahkan para konglomerat pun hanya bisa menonton.
Dan akhirnya, pada sesi 1 Selasa, 18 Maret 2025, IHSG ditutup pada level -6,12%.
(*)