Pasbana - Ikhlas. Kata yang sering kita dengar, tapi sejauh apa kita benar-benar memahaminya? Di era media sosial, di mana segala sesuatu bisa diukur dari jumlah like, share, dan komentar, konsep ikhlas seperti menjadi barang langka.
Tapi, mari kita telusuri lagi makna ikhlas yang sesungguhnya, bukan sekadar retorika, melainkan sebuah gaya hidup yang menantang zaman.
Kiyai Hasan, seorang ulama yang bijak, pernah berkata, “Ikhlas itu ketika perkataan dan perbuatan diorientasikan hanya untuk mengharap ridho Allah, tanpa memedulikan keuntungan materi, prestise, atau gelar.”
Bayangkan, di dunia yang penuh dengan “pamer pencapaian”, ikhlas adalah seni untuk tetap rendah hati meski punya segudang prestasi. Ikhlas itu seperti menjadi influencer tanpa perlu mengunggah setiap detik hidup kita ke Instagram.
Lalu, ada satu kalimat yang bikin merinding: “Ikhlas itu ketika kalian menjadi sumber mata air ilmu, pelita yang menerangi, dikenal oleh penduduk langit, tetapi tersembunyi dari penduduk bumi.” (Ibnu Mas'ud).
Jadi, ikhlas itu seperti WiFi—kita tidak melihatnya, tapi manfaatnya dirasakan oleh banyak orang. Tanpa perlu pamer sinyal, tanpa perlu tagar #BerkatAku.
Tapi, jangan salah. Ikhlas bukan berarti kita harus menjadi “invisible”. Kiyai Hasan juga mengingatkan, ikhlas itu ketika hati tidak dirasuki rasa kagum terhadap diri sendiri. Artinya, kita boleh saja tampil, berkarya, atau berprestasi, asalkan tidak terjebak dalam pusaran narsisme. Ikhlas itu seperti menjadi bintang tanpa perlu merasa paling terang di galaksi.
Nah, ini yang sering jadi ujian: ikhlas itu ketika kita lebih memilih amal yang tersembunyi daripada yang dipublikasikan. Bayangkan, di era TikTok dan YouTube Shorts, di mana setiap kebaikan bisa jadi konten viral, ikhlas mengajarkan kita untuk tetap melakukan kebaikan meski tak ada kamera yang merekam. Ikhlas itu seperti memberi sedekah tanpa perlu story WhatsApp.
Kiyai Hasan juga menegaskan, ikhlas itu ketika amal kita sebagai “jundi” (prajurit) tidak berbeda dengan saat menjadi “qiyadah” (pemimpin). Artinya, ikhlas itu konsisten, tidak berubah-ubah tergantung posisi atau situasi. Ikhlas itu seperti kopi hitam—rasanya tetap pahit, meski disajikan di gelas mahal atau cangkang biasa.
Dan yang paling menohok: ikhlas itu ketika kita tidak mengutamakan keridhaan manusia jika di balik itu ada kemurkaan Allah. Di dunia yang penuh dengan pencitraan, ikhlas mengajarkan kita untuk tetap jujur pada diri sendiri dan pada Sang Pencipta. Ikhlas itu seperti memilih untuk tidak ikut tren, meski semua orang melakukannya.
Terakhir, ikhlas itu tentang keteguhan. “Ikhlas itu tsabat ketika panjangnya jalan, lamanya waktu, tidak membuatnya malas, mundur, apalagi meninggalkan dakwah,” kata Kiyai Hasan.
Ikhlas itu seperti marathon, bukan sprint. Butuh stamina mental dan spiritual untuk tetap konsisten, meski medan terjal dan waktu terasa panjang.
Jadi, di tengah gemerlap dunia yang penuh dengan pencitraan, ikhlas adalah oase ketenangan. Ia mengajarkan kita untuk tetap rendah hati, konsisten, dan fokus pada tujuan utama: ridho Allah. Ikhlas itu bukan tentang seberapa banyak kita dilihat, tapi seberapa tulus kita memberi.
Selamat merenungi makna ikhlas di bulan Ramadhan ini. Karena, ikhlas itu seperti puasa—yang tahu hanya kita dan Allah.
2 Ramadhan 1446 H.
Wo Kasbi