Notification

×

Iklan

Iklan

Jabr al-Khatir: Seni Menghibur Hati yang Terluka, dari Nabi hingga Hatim si "Tuli"

19 Maret 2025 | 06:17 WIB Last Updated 2025-03-19T03:21:42Z


Pasbana - Pernahkah Anda merasa tersentuh oleh sikap seseorang yang tiba-tiba "tuli" saat Anda melakukan kesalahan kecil? Atau mungkin Anda pernah dibuat lega oleh orang yang dengan santun menjaga harga diri Anda saat memberi bantuan? 

Itulah Jabr al-Khatir—seni menjaga perasaan orang lain, menghibur hati yang terluka, dan membalut luka dengan kelembutan.  

Syekh Mulla Ramadhan al-Buthi, seorang ulama terkemuka, pernah berpesan bahwa Jabr al-Khatir adalah amal terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ini bukan sekadar teori, tapi praktik nyata yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para salafus shalih

Mari kita telusuri kisah-kisah inspiratif mereka yang sarat makna, tapi disajikan dengan gaya kekinian yang menggelitik.  

Rasulullah dan "Selendang Kehormatan" untuk Ibnu Ummi Maktum 


Bayangkan ini: Anda sedang sibuk mempresentasikan proposal bisnis kepada para petinggi Quraisy, tiba-tiba seorang sahabat buta, Abdullah bin Ummi Maktum, datang meminta perhatian. Apa yang Anda lakukan? Rasulullah Saw sempat "kecolongan" dalam situasi ini. Allah pun menegurnya lewat QS. ‘Abasa.  

Tapi lihatlah respons Nabi Saw setelahnya. Setiap kali bertemu Ibnu Ummi Maktum, beliau membentangkan selendangnya seraya berkata, "Selamat datang, orang yang Allah telah menegurku karenanya."
Subhanallah, bukan hanya meminta maaf, beliau bahkan menjadikan momen itu sebagai penghormatan.  

Lalu, kenapa Rasulullah Saw justru menugaskan Ibnu Ummi Maktum—seorang yang buta—untuk mengumandangkan azan kedua yang membutuhkan ketepatan waktu? Dr. Adnan Ibrahim punya tafsir menarik: ini adalah bentuk Jabr al-Khatir. Seolah Rasul berkata, "Kamu mungkin buta secara fisik, tapi hatimu lebih tajam dari siapa pun. Kami percaya padamu."

Shafiyyah, Hafshah, dan "Drama" Kekeluargaan yang Berakhir Manis


Pernah dengar istilah "drama keluarga"? Rasulullah Saw pun mengalaminya. Suatu hari, Shafiyyah binti Huyay menangis karena dilukai oleh ucapan Hafshah, istri Nabi yang lain, yang menyebutnya "puteri Yahudi". Padahal, Shafiyyah adalah keturunan Nabi Harun as.  

Nabi Saw, dengan penuh cinta, menghibur Shafiyyah: "Engkau adalah puteri seorang Nabi, pamanmu juga Nabi, dan suamimu juga Nabi." Lalu, beliau menasihati Hafshah dengan lembut: "Tidakkah engkau takut pada Allah?"

Kisah ini mengajarkan kita bahwa Jabr al-Khatir bukan hanya tentang menghibur, tapi juga tentang mengoreksi dengan cara yang tidak menyakiti. Bayangkan jika Rasulullah Saw marah-marah atau memarahi Hafshah di depan umum. Pasti "drama"-nya akan berlarut-larut.  

Aisyah dan "Tangan di Bawah" yang Penuh Makna


Sayyidah Aisyah ra, istri Nabi yang cerdas, punya cara unik dalam bersedekah. Meski tahu hadits bahwa "tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah", beliau justru memposisikan tangannya di bawah saat memberi. Kenapa? Agar si penerima tidak merasa direndahkan.  

Inilah esensi Jabr al-Khatir: memberi tanpa membuat orang lain merasa kecil. Bayangkan jika kita memberi sambil memamerkan kekayaan atau dengan ekspresi sok kasihan. Bukannya bersyukur, si penerima mungkin malah merasa terhina.  


Hatim si "Tuli" dan Seni Menghindari Malu
  


Ada satu kisah lucu tapi penuh hikmah tentang Hatim al-Asham, seorang tabi’in yang dijuluki "si Tuli". Suatu hari, seorang wanita bertanya masalah agama kepadanya. Tanpa sengaja, wanita itu mengeluarkan angin dan bersuara. Tentu saja, ia sangat malu.  

Apa yang dilakukan Hatim? Dengan santai, ia berkata, "Apa yang engkau tanyakan tadi?" Seolah-olah ia tidak mendengar suara itu. Wanita itu pun lega karena mengira Hatim benar-benar tuli. Padahal, Hatim hanya pura-pura tuli untuk menjaga perasaannya.  

Kisah ini mengajarkan kita bahwa Jabr al-Khatir bisa dilakukan dengan cara-cara kreatif, bahkan dengan sedikit "akting".  

Jabr al-Khatir di Era Kekinian


Di zaman media sosial seperti sekarang, Jabr al-Khatir  semakin relevan. Ketika memberi sedekah, sudahkah kita menjaga perasaan penerima? Atau jangan-jangan kita malah memposting foto mereka dengan caption yang terkesan merendahkan?  

Atau saat mudik nanti, perlukah kita pamer kesuksesan dan harta di depan saudara yang hidup pas-pasan? Tidakkah lebih baik kita menjaga perasaan mereka dan berbagi kebahagiaan dengan cara yang lebih elegan?  

Jabr al-Khatir mungkin terlihat sederhana, tapi dampaknya luar biasa. Ia bukan hanya menyembuhkan luka hati, tapi juga membangun ikatan sosial yang kuat. Dan yang terpenting, ia berat di timbangan amal.  

Jadi, mari kita praktikkan Jabr al-Khatir  dalam keseharian. Siapa tahu, dengan sedikit kelembutan, kita bisa menjadi "Hatim si Tuli" bagi orang-orang di sekitar kita. Atau mungkin, kita bisa menjadi "Aisyah" yang selalu menjaga harga diri orang lain saat memberi.  

Jabr al-Khatir: karena menghibur hati orang lain adalah seni yang tak lekang oleh zaman.

(YJ/ ditulis ulang )

IKLAN


×
Kaba Nan Baru Update