Pasbana- Bayangkan sedang berada di eskalator yang bergerak turun sementara Anda berusaha naik. Begitulah kira-kira nasib kelas menengah Indonesia saat ini.
Lima tahun lalu, kelompok ini masih berjumlah 57,33 juta orang atau sekitar 21,45% dari total penduduk. Kini, pada Maret 2024, angka itu merosot tajam menjadi 47,85 juta orang atau hanya 17,13%. Jika ini balapan, kelas menengah jelas sedang tertinggal.
Sebagai motor utama konsumsi, kelas menengah seharusnya menjadi penopang ekonomi yang stabil. Mereka bukan orang kaya yang bebas stres memikirkan harga cabai, tapi juga bukan golongan yang harus menunggu bantuan sosial untuk bertahan hidup.
Sayangnya, mereka kini terjebak dalam kondisi yang dilematis: sulit menjadi kaya, tetapi mudah jatuh miskin.
Kehidupan kelas menengah ibarat berjalan di atas tali—sedikit goyah, bisa terjatuh. Pandemi menjadi titik balik yang menampar kenyataan: tabungan mereka terkuras, lapangan pekerjaan makin ketat, dan harga barang kebutuhan pokok terus meroket.
Alih-alih naik kasta menjadi orang kaya, banyak dari mereka justru terpeleset ke kelompok rentan miskin.
Sebagian besar kelas menengah mengandalkan gaji bulanan yang kadang terasa cukup, tapi sering kali hanya numpang lewat di rekening. Kebutuhan pokok, cicilan rumah, biaya sekolah anak, hingga tagihan internet yang sudah jadi kebutuhan primer, membuat ruang gerak finansial mereka semakin sempit.
Ditambah lagi, kenaikan harga barang yang lebih cepat dari kenaikan gaji makin memperparah situasi. Ini bukan sekadar fenomena ekonomi, melainkan realitas pahit yang dialami banyak orang.
Pemerintah memang telah menggulirkan berbagai kebijakan, dari insentif pajak hingga bantuan subsidi. Namun, itu tak cukup jika hanya bersifat sementara. Yang dibutuhkan adalah strategi jangka panjang untuk memastikan kelas menengah bisa bertahan dan berkembang, bukan sekadar bertahan hidup.
Jika dibiarkan, erosi kelas menengah ini bisa menjadi bom waktu bagi ekonomi nasional. Semakin banyak yang jatuh ke kelompok rentan miskin, daya beli melemah, dan pertumbuhan ekonomi pun ikut tersendat. Pada akhirnya, kemakmuran yang dicita-citakan hanya akan menjadi angan-angan yang terus tertunda.
Maka, sudah saatnya kebijakan ekonomi tak sekadar bersifat tambal sulam. Perlu ada strategi konkret untuk memperkuat daya tahan kelas menengah, baik melalui kebijakan upah, akses permodalan, maupun stabilisasi harga kebutuhan pokok.
Jika tidak, mereka akan terus berjalan di tempat, atau lebih buruk lagi, tergelincir ke jurang kemiskinan yang sulit untuk didaki kembali.(budi)