Padang Panjang, pasbana – Komunitas Seni Kuflet menggelar diskusi bertajuk “Warna dan Mood dalam Film” di Sekretariat Komunitas Seni Kuflet. Acara ini menghadirkan Muhammad Daffa Al Fathir sebagai narasumber dan Hafizd sebagai moderator.
Diskusi ini bertujuan untuk mengupas tuntas bagaimana warna dalam film tidak hanya berfungsi sebagai elemen estetika, tetapi juga sebagai alat naratif yang mampu memengaruhi emosi dan persepsi penonton.
Ketua Komunitas Seni Kuflet, Akbar, dalam sambutannya menyatakan, “Warna dalam film adalah bahasa visual yang kaya. Ia bukan sekadar latar belakang, melainkan alat yang mampu memperkuat narasi dan membangun karakter. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru bagi anggota komunitas dan pecinta film.”
Muhammad Daffa Al Fathir, pemateri dalam diskusi tersebut, menjelaskan bahwa warna dalam film memiliki makna mendalam yang dapat memengaruhi suasana hati dan persepsi penonton.
“Warna bukan sekadar elemen estetika. Ia adalah bahasa visual yang mampu membangun emosi dan memperkuat narasi. Penggunaan warna yang terencana dan terampil dapat mengubah film dari sekadar tontonan biasa menjadi pengalaman sinematik yang mendalam dan berkesan,” ujarnya.
Fathir menambahkan, warna-warna hangat seperti merah, oranye, dan kuning sering dikaitkan dengan kegembiraan dan energi. “Merah, misalnya, dapat memicu perasaan kuat seperti cinta, gairah, atau bahkan bahaya. Oranye menciptakan suasana ceria dan optimis, sementara kuning melambangkan kecerdasan atau harapan,” jelasnya.
Sebaliknya, warna-warna dingin seperti biru, hijau, dan ungu cenderung memunculkan perasaan tenang, sedih, atau misterius.
“Warna netral seperti hitam, putih, dan abu-abu juga memainkan peran penting. Hitam sering digunakan untuk menciptakan suasana dramatis atau menegangkan, sementara putih bisa melambangkan kesucian atau ketidakpastian,” tambah Fathir.
Diskusi ini juga diwarnai dengan pertanyaan kritis dari peserta. Siti Nuratikah, salah satu anggota Kuflet yang juga aktor handal, bertanya, “Mengapa film horor sering menggunakan adegan gelap? Bukankah hal itu bisa menghilangkan mimik wajah pemain?”
Menanggapi pertanyaan tersebut, Fathir menjelaskan bahwa penggunaan cahaya gelap atau terang dalam film horor sangat bergantung pada visi sutradara dan pesan yang ingin disampaikan.
“Meskipun adegan gelap mungkin mengurangi detail mimik wajah, hal itu telah dipertimbangkan untuk menciptakan atmosfer tertentu. Umpan balik dari penonton juga sangat dihargai, karena kritik dan saran dapat menjadi bahan evaluasi untuk karya selanjutnya,” ujarnya.
Faruq, salah satu peserta diskusi, mengungkapkan bahwa materi yang dibahas sangat bermanfaat untuk menambah wawasan seputar dunia audio visual.
“Diskusi ini membuka pemahaman baru tentang bagaimana penentuan warna dan mood dapat memengaruhi keseluruhan cerita dalam film. Ini sangat berguna bagi kami yang berkecimpung di dunia seni dan film,” ujarnya.
Diskusi “Warna dan Mood dalam Film” yang digelar Komunitas Seni Kuflet berhasil memberikan pemahaman mendalam tentang peran warna dalam membangun narasi dan emosi dalam film.
Dengan menghadirkan narasumber yang kompeten dan peserta yang antusias, acara ini menjadi wadah berbagi pengetahuan dan pengalaman bagi para pecinta seni dan film di Padang Panjang.
“Kami berharap diskusi seperti ini dapat terus dilakukan untuk mendorong perkembangan dunia seni dan film di Indonesia,” tutup Akbar.
(*/Rani)