Pasbana - Ramadan, bulan suci yang kerap disebut sebagai syahrul tarbiyah (bulan pendidikan), seharusnya menjadi momentum bagi masjid-masjid untuk mengoptimalkan peran mereka sebagai pusat pembelajaran.
Namun, jika kita jujur, banyak dari kita mungkin pernah duduk di shaf belakang, mendengarkan ceramah yang terasa seperti deja vu—sama saja, tahun lalu, tahun ini, dan mungkin tahun depan.
Pertanyaannya: apakah kurikulum ceramah di masjid kita sudah cukup relevan untuk generasi milenial, Gen Z, atau bahkan Alpha yang hidup di era TikTok dan ChatGPT?
Masjid sebagai Madrasah: Antara Harapan dan Realita
Setiap Ramadan, ribuan masjid dan mushalla berubah menjadi "sekolah" paling sibuk. Kajian bakda Subuh, bakda Zuhur, hingga bakda Tarawih, semuanya penuh sesi ceramah.
Tapi, mari kita akui: metode ceramah yang dominan itu seringkali terasa seperti monolog.
Ustadz berbicara, jamaah mendengar (atau setidaknya berusaha mendengar). Padahal, di dunia pendidikan modern, metode ceramah sudah lama tidak lagi menjadi primadona.
Guru-guru di sekolah didorong untuk menggunakan metode diskusi, simulasi, atau studi kasus. Lalu, mengapa di masjid kita masih bertahan dengan gaya lama?
Tentu, ini bukan soal benar atau salah. Ceramah tetap punya tempatnya. Tapi, di era di mana informasi bisa diakses dengan sekali klik, apakah metode satu arah ini masih cukup efektif?
Apalagi, kita sedang berhadapan dengan generasi yang terbiasa belajar lewat YouTube, podcast, atau bahkan Instagram Reels. Mereka tak lagi bergantung pada sosok ustadz di mimbar untuk memahami Islam.
Mereka bisa belajar fiqih dari video singkat, atau mendengarkan tafsir Al-Qur'an sambil jogging.
Ceramah 2.0: Bukan Sekadar Bicara, Tapi Berdialog
Bayangkan jika kajian di masjid tidak lagi sekadar ceramah, tapi lebih interaktif. Misalnya, sesi tanya jawab yang lebih hidup, diskusi kelompok kecil, atau bahkan simulasi praktik ibadah.
Ustadz bisa memancing partisipasi jamaah dengan pertanyaan-pertanyaan ringan namun mendalam. Misalnya, "Apa bedanya wudhu kita dengan wudhu-nya influencer medsos yang selalu terlihat sempurna?"
Atau, "Bagaimana hukumnya jika kita terlambat bayar utang karena habis belanja online saat Ramadan?"
Dengan begitu, kajian di masjid tidak hanya menjadi ajang "dengar-dengaran", tapi juga ruang untuk berpikir, berdiskusi, dan berefleksi.
Ini penting, karena esensi pembelajaran—baik di sekolah maupun di masjid—adalah perubahan. Bukan sekadar menambah pengetahuan, tapi juga menggerakkan hati dan tindakan.
Evaluasi: Apakah Ceramah Kita Sudah Membawa Dampak?
Pertanyaan krusialnya: apakah ribuan sesi ceramah selama Ramadan benar-benar membawa dampak? Apakah jamaah pulang dengan pemahaman yang lebih baik tentang fiqih, akhlak, atau muamalah? Atau, mereka hanya sekadar "hadir" secara fisik, sementara pikirannya melayang ke menu buka puasa nanti?
Evaluasi adalah kunci. Mungkin sudah waktunya para pengurus masjid dan ustadz membuat instrumen sederhana untuk mengukur efektivitas ceramah.
Misalnya, dengan sesi refleksi singkat di akhir kajian, atau bahkan kuis kecil yang menguji pemahaman jamaah. Tujuannya bukan untuk menilai, tapi untuk memastikan bahwa materi yang disampaikan benar-benar terserap.
Generasi Muda dan Masjid: Jangan Sampai Jadi "Tamu Langka"
Fakta yang tak bisa diabaikan: populasi anak muda di masjid semakin menipis, terutama di malam-malam akhir Ramadan. Apakah metode ceramah yang monoton ikut berkontribusi? Wallahu'alam. Tapi, ini patut jadi renungan.
Generasi muda hari ini adalah generasi yang haus akan interaksi dan relevansi. Mereka ingin merasa terlibat, bukan sekadar jadi pendengar pasif.
Mungkin, sudah saatnya masjid-masjid kita berinovasi. Misalnya, dengan mengadakan kajian khusus anak muda yang lebih ringan namun berbobot, atau menggunakan media digital untuk menarik minat mereka.
Bayangkan jika ada podcast kajian Ramadan yang bisa didengarkan sambil ngabuburit, atau konten Instagram yang merangkum ceramah dalam bentuk infografis menarik.
Kurikulum Ceramah yang Berorientasi Hasil
Ke depan, kurikulum ceramah di masjid harus punya tujuan yang jelas. Misalnya, masjid A menargetkan jamaahnya paham fiqih thaharah setelah Ramadan.
Masjid B fokus pada pemahaman muamalah yang sesuai syariat. Dengan begitu, setiap kajian tidak sekadar jadi pengisi waktu, tapi benar-benar membawa nilai tambah bagi jamaah.
Ramadan adalah bulan pendidikan. Mari jadikan masjid sebagai ruang belajar yang hidup, interaktif, dan relevan. Karena, di tengah gempuran informasi digital, masjid harus tetap menjadi sumber ilmu yang tak tergantikan—bukan sekadar tempat kita mendengarkan ceramah yang sama, tahun demi tahun.
La'allakum tattaqun—semoga kita semua menjadi pribadi yang lebih bertakwa. Tapi, takwa itu bukan hanya soal mendengar, tapi juga memahami, merenungkan, dan mengamalkan.
Yuk, kita mulai dari kurikulum ceramah yang lebih segar dan menggugah!
(*)